Oleh:
Dr. Benny Pasaribu, MEc. PhD.
BANK Indonesia (BI) ke depan memiliki peran yang makin strategis dalam tata kelola perekonomian Indonesia. BI akan menghadapi tantangan yang makin besar dalam era revolusi industri 4.0 dengan teknologi digital dan artificial inteligent.
Sistem pembayaran dituntut harus lebih cepat, aman, dan efisien. Penggunaan uang kartal juga semakin berkurang karena pembayaran akan lebih banyak dilakukan dengan ponsel dan fintech.
Kebijakan Makro prudential guna menjaga stabilitas nilai mata uang akan dirumuskan dengan lebih hati-hati dengan mempertimbangkan perubahan ekonomi global yang makin cepat dan adanya trend penguatan nilai US dollar dan mata uang asing lainnya.
Oleh karena itu sosok Gubernur BI yang akan datang harus mampu memahami berbagai tantangan di atas dan sekaligus mencari solusi terbaik dan memastikan terjadinya stabilitas makro dan sistem pembayaran sebagai salah satu prasyarat untuk mencapai kemajuan ekonomi Indonesia sesuai Nawacita Presiden Jokowi.
Untuk itu Gubernur BI perlulah memahami hakekat Nawacita yang memang berbasis pada Trisakti yang dicanangkan oleh Bung Karno. Perpaduan dan koordinasi antara kebijakan Moneter, kebijakan Fiskal, dan kebijakan Industri dan Perdagangan sangat diperlukan untuk mencapai Pertumbuhan Ekonomi yang berkeadilan sesuai Nawacita.
Bagaimanapun, Indonesia harus fokus membangun industrialisasi untuk memberikan nilai tambah terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh rakyat banyak. Fokus kebijakan sebagaimana telah diajukan KEIN (Komite Ekonomi dan Industri Nasional) perlu diarahkan pada 4 Industri prioritas: 1) Industri Agro, 2) Industri Maritim, 3) Industri Pariwisata, dan 4) Industri Ekonomi Kreatif dan Digital.
Perlu disadari bahwa Bank Indonesia adalah lembaga negara yang sangat dibutuhkan bangsa ini untuk memajukan kesejahteraan rakyat. Oleh karenanya, BI tidak boleh jalan sendiri diluar kerangka program dan platform pemerintah. Selama ini BI sangat lambat menurunkan suku bunga acuan yang berakibat pada tingginya bunga pinjaman bank.
Kebijakan moneter yang ketat selama ini merupakan salah satu penyebab rendahnya pertumbuhan ekonomi, yang hanya sekitar 5% per tahun. Angka ini jauh lebih rendah dibanding potensi pertumbuhan yang mencapai sekitar 7%.
Industri perbankan sering mengalami kekeringan likuiditas sejalan dengan keengganan BI membeli Surat Berharga Negara atau obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah dan korporasi.
Ke depan, BI perlu lebih kerja keras dan cerdas memilih instrumen kebijakan moneter sehingga berdampak pada ketersediaan likuiditas perbankan dengan tingkat bunga pinjaman di kisaran 5%.
Pertumbuhan kredit ke sektor riel harus mampu ditingkatkan hingga di atas 15% guna mengejar pertumbuhan ekonomi di atas 6%. Saya yakin hal itu sangat bisa dicapai asalkan Gubernur BI yang terpilih memahami kebutuhan bangsa ini ke depan.
Semoga pak Jokowi tidak terpengaruh dengan nama-nama yang diajukan para korporat besar karena ke depan Presiden perlu memastikan kebijakan yang diambil BI selalu sejalan dengan Nawacita yang memang berbasis ekonomi kerakyatan. Semoga!
(Penulis adalah anggota Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN).