Matanurani, Jakarta – Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) memastikan total utang pemerintah hingga akhir 2018 tembus Rp 4.000 triliun.
Per akhir Agustus 2017, total utang pemerintah pusat tercatat mencapai Rp 3.825,79 triliun. Dalam sebulan, utang ini naik Rp 45,81 triliun, dibandingkan jumlah di Juli 2017 yang sebesar Rp 3.779,98 triliun.
Total utang pemerintah yang mencapai Rp 4.000-an triliun ini sudah termasuk hitungan utang di dalam APBN-P 2017 yang sekitar Rp 427 triliun, dan tambahan utang di tahun depan yang mencapai Rp 399 triliun.
Peningkatan utang tentu mencemaskan berbagai pihak, ada yang mengingatkan pemerintahan Jokowi tentang sudah besarnya utang, bahkan ada juga yang memanfaatkannya sebagai amunisi untuk menyerang pemerintahan Jokowi-JK.
Namun, menurut pengamatan ekonom yang juga anggota Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN), Dr Ir Benny Pasaribu peningkatan utang tak perlu dikhawatirkan secara berlebihan. Dan tidak adil jika hanya pemerintahan Jokowi – JK yang disalahkan terkait utang RI sekitar Rp 4.000 trilun.
“Hal tersebut tak perlu dikhawatirkan secara berlebihan. Tapi memang harus lebih berhati-hati dan dijaga jangan sampai tidak mampu membayar hutang,” kata Benny.
Sebab, menurut Benny utang tersebut dilakukan secara kumulatif sejak pemerintahan sebelumnya dan pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang memerintah selama dua periode, peningkatan hutang pemerintah tercatat cukup besar.
Tatkala pemerintahan SBY mengakhiri masa jabatannya pada Oktober 2014, data BI menunjukkan utang luar negeri Indonesia tembus USD 294,5 miliar atau setara dengan Rp 3.727 triliun. Maka, penambahan utang paling dahsyat memang terjadi di era SBY.
“Jadi, Presiden Jokowi diwarisi utang, dan harus menanggung risiko mencicil utang pokok dan bunga sekitar Rp 400 T per tahun. Lantas, Presiden Jokowi dapat uang darimana untuk membayar itu?. Lalu, darimana pula dana untuk membangun pendidikan, kesehatan, pariwisata, poros maritim, pertanian, infrastruktur dan lain sebagainya,” kata Benny Pasaribu, saat dihubungi Matanurani, Jumat, (24/11).
Wakil Ketua Umum Bidang Ekonomi DPP Partai Hanura ini pun menegaskan, untuk membayar utang pokok dan bunga utang, Jokowi harus mencari dana pinjaman, sedangkan dana untuk pembangunan dan memperbaiki pelayanan kepada rakyat diperoleh dari gotong royong melalui perpajakan.
Selain itu, kata Benny ekonomi Indonesia masih tumbuh sekitar 5% per tahun dan rasio utangnya masih jauh dibawah 30 % dari Produk Domestrik Bruto (PDB). Dan, kondisi ini jauh masih rendah dibanding negara-negara tetangga yang sudah mendekati 100 %, bahkan ada diatasnya.
“Urusan pinjam meminjam seperti ini sudah dilakukan dengan kalkulasi matang termasuk melakukan evaluasi kebutuhan prioritas pembangunan dan kemampuan bayar,” pungkas Benny. (Smn).