Home Uncategorized Alasan Raja Salman Pilih Bali, Bukan Negeri “Serambi Mekkah” Aceh?

Alasan Raja Salman Pilih Bali, Bukan Negeri “Serambi Mekkah” Aceh?

0
SHARE

Raja Salman dari Kerajaan Saudi Arab sempat menghebohkan Indonesia bahkan dunia. Dalam kunjungan kenegaraannya ia membawa rombongan dalam jumlah yang besar, 1.500 orang. Dan, ini bukan baru pertama kali terjadi. Dalam lawatannya ke Perancis, ia melakukan hal yang sama meskipun jumlah relatif sedikit jika dibandingkan dengan rombongan yang dibawa ke Indonesia.

Sebagai penjaga dua kota suci, Mekkah dan Madinah, Raja Salman memiliki posisi strategis  bagi dunia islam. Harapannya, kedatangan ke Indonesia ia memberikan angin segar perubahan sektor pelayanan haji. Hal yang paling diharapkan adalah ia membuka kran quota haji. Harapan itu terpenuhi dan menjadi komitmennya untuk umat islam di Indonesia.

Selain itu, ia adalah pemegang tahta Kerajaan Saudi Arabia, maka kedatangannya tak terpisahkan dengan tugas kenegaraanya. Sebagai pemimpin negara maka kedatangannya memiliki misi lain selain urusan haji, yakni misi ekonomi.

Seorang sahabat saya, jebolan doktor dari salah satu universitas di Australia, memberikan analisis soal kunjungan Raja Salman ke Indonesia dan negeri Tiongkok.

Saudi Arabia lagi galau. Kondisi perekonomian akan terancam beberapa tahun ke depan. Karena apa? Ketergantungan dunia kepada minyak bumi semakin menurun. Keberadaan energi terbarukan (renewable energy) menjadi ancaman serius bagi Saudi Arabia yang mengandalkan kekayaan alam sektor migas. Angin dan cahaya matahari saja dapat menggerakan mesin, koq.

Selain ketergantungan dunia pada minyak bumi kian berkurang, deposit atau kandungannya pun semakin terkuras. Hal ini yang menjadi ancaman serius keberlangsungan negara ini di tahun-tahun yang akan mendatang.

Sektor haji menjadi salah satu sumber pendapatan (income), namun tidak seberapa jika dibandingkan dengan minyak bumi. Meskipun proporsi kontribusinya kecil, jasa pelayanan haji, umroh dan lain-lain layak diperhitungkan. Maka tidak terlalu mengejutkan jika kebijakan kuota haji ditambah karena Indonesia merupakan negara potensial dengan penduduk muslim terbesar di dunia.

Saat ini Arab Saudi menjadi salah satu negara kaya karena sumber kekayaannya berasal dari sektor migas. Lantas, bagaimana kedepannya? Pertanyaan ini terjawab dengan langkah Raja Salman melakukan lawatan ke beberapa negara, Indonesia dan Cina untuk melakukan investasi.

Raja Salman sadar betul – melalui analisis pakar dari semua disiplin ilmu bahwa kondisi minyak semakin mengkhawatirkan maka langkah cepat adalah pemerintah segera membuka diri dan bermitra dengan negara-negara potensial.

Jadi, kedatangan Raja Salman tidak semata-mata alasan “membawa uang” tetapi juga strategi untuk “membawa pulang uang”. Bukan saja soal urusan keagamaan, pula urusan ekonomi. Dan, penulis boleh bilang alasan ekonomi yang mendominasi kedatangan Raja Salman ke Indonesia.

Jikalau alasan agama, Raja Salman akan lebih memilih berkunjung ke negeri “Serambi Mekkah”, Aceh ke “Pulau Seribu Mesjid” Lombok atau “Kota Santri” Tasikmalaya dan lain sebagainya, bukan kota atau pulau lain yang tidak memilik sejarah perkembangan islam. Raja Salman dan rombongan justeru memilih Bali sebagai tempat pelabuhan terakhirnya sebelum tinggalkan jejak di Indonesia dan meneruskan lawatannya ke negeri Tiongkok.

Seperti apa Bali? Publik atau pembaca pada tahu. Pulau pariwisata, pulau seribu candi, surga bagi wisatawan dan sederetan sematan padanya dari yang terbaik hingga sematan yang terburuk sebagai pulau nista atau neraka semacamnya oleh sekelompok orang yang mengakui pemilik surga yang mungkin pernah balik dari surga. Dengan sematan Bali yang bernuansa negatif ini, apakah layak sang penjaga kota suci melewatkan masa liburannya di sana? Apakah sang raja dan rombongan bakal dicap najis karena berlibur di negeri yang mayoritas penduduknya berlabel “kafir”?

Penulis yakin Raja Salman bukan selevel kaum sumbuh pendek dalam hal wawasan dan pengetahuannya. Maka kehadirannya di Indonesia telah dapat membungkam mulut-mulut begal yang kerap mengklaim sebagai yang empunya surga. Ia pun mempertegas melalui sikap dan tindakannya selama lawatan ke luar negeri baik di Bali maupun di Cina bahwa manusia bukan hidup dari ayat-ayat suci saja melainkan perlu juga roti (baca: ekonomi) untuk mengganjal perutnya.

Karena dasar inilah, Raja Salman mengambil sikap yang berbeda dengan gerombolan yang selalu memandang kaum lain sebagai kelompok kafir. Bagi saya, kedatangannya di Bali hanya berkedok berwisata Ada tujuan atau agenda yang lebih besar terkait dengan perekonomiannya sendiri.

Sadar atau tidak, Bali telah menjadi pulau industri pariwisata terbesar di Indonesia. Populer sejak ratusan tahun lalu. Hebatnya, tradisi dan budaya Bali dan agama Hindu sangat kuat di tengah arus perubahan zaman. Mereka mempertahankan keaslian Bali dari sisi tata krama, aturan, arsitektur dan sebagainya sehingga pariwisata Bali menyuguhkan menu yang komplit – wisata alam, budaya, agama, jasa dan sebagainya. Dan, Bali, satu-satunya provinsi di Indonesia yang menggantungkan hidup pada sektor jasa pariwisata. Pariwisata menjadi leading sector di semua kabupaten/kota.

Akui atau tidak, Bali dengan penduduk mayoritas umat Hindu mampu menjaga keselarasan antara kemajuan dan peradaban serta tradisi budaya dan agamanya. Boleh dibilang Bali menjadi “kiblat” dari agama dan umat Hindu yang masih eksis dan berpengaruh di Indonesia. Keberadaan pariwisata dan lalu lintas manusia dari berbagai penjuru dunia tak mampu menggerusnya.

Hal ini yang menjadi pertimbangan Raja Salman, sekali mendayung dua tiga pulau terlampui. Kedatangan di Bali, selain bermotif wisata, lebih dari itu mempelejari dan mengalami pengelolaan sektor pariwisata nilai-nilai yang telah dipertahankan dan diwariskan berabad-abad lamanya.

Keunikan Bali menjadi daya tarik Raja Salman. Karena Bali memiliki potensi besar. Jikalau bukan alasan potensi, ia lebih memilih berlibur di Lombok atau tempat lain yang penduduk bermayoritas umat islam. Kenyataan tidak!

Libur panjang di Bali menjadi kesempatan Raja Salman, paling tidak stafnya mendalami situasi, belajar tata kelola pariwisata dan sebagainya. Karena mereka sadar betul, sektor jasa pariwisata merupakan sektor potensial yang dapat dikembangkan di negerinya.

Langkah Saudi Arabia terbilang terlambat jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangganya, Qatar dan Uni Emirat Arab yang telah membuka diri dengan dunia luar serta menjadi titik tujuan wisatawan kelas jet-set. Apa yang tidak ada di sana? Semuanya ada. Hotel, hiburan dan jasa berkelas lainnya ada di sana dan menjadi tempat yang ramah untuk berinvestasi. Daripada dibilang terlambat, paling tidak Saudi Arabia telah memulai – meskipun di belakang beberapa negara tetangga.

Ketika kandungan sumber daya alam terkuras, sektor jasa menjadi andalan bagi negara di masa yang akan datang. Singapura adalah pembuktian sebagai negera yang hidup dan dihidupi oleh sektor jasa. Barang tambang gak punya, kalaupun ada mungkin sedikit. Pasir aja import dari Indonesia. Singapura tumbuh sebagai negeri makmur.

Kini Saudi Arabia mengarahkan perhatian ke sana. Minyak semakin berkurang. Plus negara-negara maju mulai mengandalkan renewable energy. Pendapatan dari jasa pelayanan haji tak seberapa. Mau tidak mau, suka tidak suka, Saudi Arabia harus membuka diri dan belajar dari negeri atau negara yang kerap dilabeli “kafir” seperti Bali dan Cina. Ya, sebelum terlambat dan Qatar dan Uni Emirat Arab tumbuh menjadi raksasa ekonomi di Timur Tengah, langkah Raja Salman adalah tepat.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here