Oleh, Jon A.Masli, Komite Nafta KADIN
di Los Angeles
KEMARIN saya nonton Webinar Kadin:” Solusi Usaha UMKM masa dan paska Covid 19″. Memang tidak sampai selesai karena ketiduran. Di LA sudah jam 01.00 malam, Jakarta 15.00 sore. Namun masih segar di ingatan saya pertanyaan seorang ibu UMKM tentang kacang gorengnya dan satu pengusaha lagi tentang VCO yang sulit laku dan bersaing. Yang saya tangkap adalah keluhan para pelaku UMKM. Salah satu komentar yang jelas dari Pak Wakil Ketua Umum Kadin Charles Saerang bahwa “Harus dipelajari dahulu pasarnya sebelum berusaha” . Ya betul sekali saran beliau. Tapi masalahnya ini kan sudah kadung terjadi. Walau saya di komite NAFTA yang ikut berpartisipasi membantu para pelaku UMKM semampu Kadin selama 4,5 tahun masuk ke AS dengan rekam jejak hanya beberapa perusahaan yang berhasil, karena berbagai kesulitan dan kegagalan, saya belajar dan ingin berbagi. Mohon ijin nimbrung.
Memang UMKM itu mempunyai masalah yang kompleks. Semua kita sudah tahu.Seperti kata Jack Ma, kita belajar dari kegagalan. Ibarat kalau kita naik kelas di sekolah secara berjenjang melalui berbagai masalah dan ujian bukan?. Betul bahwa jangankan ekspor ke Amerika, kemanapun, memasarkan barang- barang pasti tidak mudah. Namun pasti bisa kalau kita berusaha. Ibu tadi bilang mereka sendiri saja sulit menjual barangnya dalam negeri bagaimana mau berusaha ekspor?.
Jadi istilah kami di KADIN : UMKM naik kelas itu pas adanya. Memang kalau naik kelas itu perlu pelatihan dan perubahan strategi dan upaya seperti di sekolah. Para pelaku UMKM itu sudah lebih dari 60 juta. Mereka terdiri dari berbagai kelas tingkat kemampuan bisnisnya. Tidak semua laik mampu ekspor. Keluhan “kacang goreng” dan “VCO” kemarin solusinya adalah sebagai berikut dengan mencermati 2 masalah pokok, Masalah sulit bersaing dan Masalah etika
Bisnis sulit bersaing dapat disebabkan oleh kualitas dan harga serta packaging dan manajemen after sales dst. Jadi kalau kualitas bagus, harga murah, persaingan mudah dipatahkan sehingga dapat bersaing, pasti laku. Bagaimana bisa masuk pasar AS, kalau kualitasnya di ragukan, harganya tinggi, belum lagi prosedur FDA yang ketat. Untuk itu saran solusinya adalah mengaplikasikan konsep sapu lidi atau bergabung dalam wadah kekuatan bersatu alias koperasi. Dengan konsep sapu lidi ini kita lebih mudah menghimpun satu kekuatan dan bargaining power untuk saling mendorong menaikkan kualitas dan mengurangi biaya produksi. Ini yang dibutuhkan para UMKM bergabung untuk bisa naik klas.
Bertahun sudah saya berbicara konsep satu kekuatan “sapu lidi” yang terikat mirip koperasi. Para UMKM kalau berdiri sendiri bakal sulit bersaing, maaf bukan mendemotivasi, kita sudah lihat mengapa Jerman, Swedia, Denmark berhasil mamasok produk-produk wine , keju dan barang konsumen ke AS ? Karena mereka memberdayakan sistim koperasi secara terstruktur. Istilah saya “sapu lidi” tadi. Demikian juga Filipina, Thailand dan Vietnam mengapa mereka bisa menyerbu pasar AS dengan sukses karena koperasi pemerintah mereka turun tangan all out melalui lobi-lobi intensif dengan pemerintah Federal AS di setiap negara bagian. Kalau kita masih juga memakai gaya lama, menghamburkan uang hanya sebatas ikut pameran sana sini, we will never make it. Sekarang sudah era E- Commerce. Kalau saja Kementerian Perdagangan tetap jalan sendiri dan bergaya lama hanya ikut-ikutan pameran ke Las Vegas, Seattle, New York yang ujung-ujung nya terkesan kurang efektif, maaf, bukan bermaksud menuduh. Bahkan sering ujung-ujungnya jalan-jalan setelah pameran terkesan seperti aji mumpung. Jadi Kementerian Koperasi, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Luar Negeri yang selama ini sudah bersinergi perlu membuat strategi “Repositioning Innovative Strategy” membantu para UMKM dengan membuat perubahan atau change management, istilah Rhenald Khasali, pakar manajemen UI.
Lalu yang kedua adalah masalah etika. Kalau mendengar keluhan para UMKM, bahwa produk-produk mereka sulit di pasarkan di dalam negeri karena Indomaret pun buat produk-produk sejenis dengan merk dagangnya atau house brand yang kualitas dan harga yang mirip. Ini tugas lembaga persaingan usaha untuk melobi konglomerat pemilik Indomaret apakah tega mematikan usaha para UMKM dengan membuat merk sendiri ketika melihat barang tersebut laku. Tapi tunggu dulu dan belum tentu. Mungkin produk UMKM itu kualitasnya kurang atau harganya mahal kurang bersaing, sehingga Indomaret membuat sendiri atau menyuruh sanak saudaranya produksi dan jadi pemasok Indomaret. Tentulah UMKM itu tersingkir? Sah-sah saja alibi ini. Namun, pokok dari komentar saya adalah belajar dari kesemua ini, hanya UMKM tertentu, terutama yang sudah naik kelas yang laik ekspor. Dengan kata lain bahasa prokemnya “lo kalau sudah terbukti sukses di pasar dalam negeri, baru mikirin ekspor ke Amrik”. Jujur pengalaman saya selama 4,5 tahun, hanya 5 produk dari 5 perusahaan UMKM yang berhasil dibantu masuk Amerika Serikat dengan upaya-upaya yang cukup panjang. Inipun terbantu karena perang dagang AS dan Cina.
Dan ternyata para pesaing kita adalah para pelaku UKM dari Filipina, Thailand, Vietnam, Malaysia atau tentunya China yang sudah naik kelas dari yang tarifnya berstatus UMKM (produk2 makanan ringan/ snack, kalengan, handicraft, plastic, garment dll). Kalau perang dagang China – AS berlanjut, mereka-mereka inilah yang berharap mendapat durian runtuh karena tarif import yang dikenakan oleh Donald Trump atas produk-produk Cina.
Jadi saran mengaplikasikan konsep sapu lidi atau koperasi di Eropah itu adalah bagian dari pada program naik kelas KADIN. Dengan demikian kualitas barang dapat menjadi lebih baik dan harga lebih bersaing karena production costnya membaik.
Solusi ini senada dengan program Kadin membina UMKM naik kelas menjadi UKM untuk Go International atau export. Peluang masuk pasar AS amat besar. Namun, have you done your home work karena ada ujian untuk naik kelas.