Home Opini PPN: Kebijakan Pajak Berwatak Kolonial

PPN: Kebijakan Pajak Berwatak Kolonial

0
SHARE

Oleh : Kusfiardi, Analis Ekonomi Politik FINE Institute

Sejarah perpajakan Indonesia menunjukkan bahwa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) memiliki akar warisan kebijakan kolonial. Narasi modernisasi perpajakan untuk membiayai kebutuhan negara tidak serta merta menghilangkan watak kebijakan kolonial. Esensi instrumen kebijakan ini kerap menimbulkan gugatan mendasar. Gugatan bahwa kebijakan PPN jauh dari mencerminkan keadilan sosial. Bahkan kebijakan ini justru memperkuat ketimpangan ekonomi yang diwariskan sejak dari masa kolonial.

Pemberlakuan PPN dalam pelaksanaannya dikenakan atas konsumsi barang dan jasa yang membebani seluruh lapisan masyarakat. Kebijakan PPN yang bersifat regresif tidak mempedulikan kemampuan ekonomi masyarakat. Pajak regresif ini memiliki dampak yang sangat membebani kelompok masyarakat berpendapatan rendah. Mereka adalah kelompok yang mengalokasikan proporsi pendapatan lebih besar untuk kebutuhan dasar. Dengan kondisi tersebut praktis PPN menciptakan beban yang signifikan bagi masyarakat kecil. Fenomena yang mengingatkan pada sistem pajak kolonial di mana mayoritas beban pajak dipikul oleh rakyat jelata.

Warisan Kolonial

Jejak kolonialisme kebijakan pajak dapat ditelusuri hingga ke masa Hindia Belanda. Pada era ini, sistem pajak seperti yang diinisiasi oleh Thomas Stamford Raffles, menempatkan beban utama pada penduduk lokal melalui landrent stelsel. Dalam sistem ini, para petani wajib membayar pajak tanah kepada pemerintah kolonial, sementara manfaat dari pungutan tersebut lebih banyak dirasakan oleh kaum kolonialis.

Pada awal abad ke-20, kontribusi penduduk lokal mencapai sekitar 60 persen dari total pendapatan pajak Hindia Belanda. Namun, pajak tersebut tidak pernah diterjemahkan ke dalam bentuk layanan atau infrastruktur yang memadai untuk rakyat lokal. Sebaliknya, pajak digunakan untuk membiayai ekspansi kolonial dan menguntungkan ekonomi Eropa. Dalam hal ini, pajak berfungsi sebagai alat eksploitasi ekonomi, bukan instrumen kesejahteraan sosial.

PPN modern, meskipun diklaim sebagai bentuk efisiensi fiskal, tetap menyimpan sifat-sifat ini. Ketika pemerintah mengandalkan pajak konsumsi seperti PPN, masyarakat kecil yang lebih rentan secara ekonomi harus menanggung beban yang lebih besar dibandingkan kelompok berpenghasilan tinggi. Dengan kata lain, PPN tidak sepenuhnya meninggalkan jejak kebijakan kolonial yang menempatkan beban pajak pada masyarakat bawah tanpa manfaat sepadan.

Kebijakan Regresif

PPN pada dasarnya adalah pajak tidak langsung dan diterapkan pada setiap tahap produksi hingga konsumsi akhir. Sistem ini berbeda dengan pajak penghasilan progresif yang dirancang untuk memajaki lebih banyak dari mereka yang memiliki penghasilan tinggi.

Bagi negara seperti Indonesia, regresivitas PPN terasa sangat nyata ditengah tingginya tingkat ketimpangan ekonomi. Kebijakan kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen pada tahun 2025 diproyeksikan untuk meningkatkan pendapatan negara secara signifikan. Namun abai akan dampak negatifnya terhadap daya beli masyarakat, khususnya kelompok miskin. Pemerintah mengabaikan dampak kenaikan PPN yang akan berpengaruh pada kenaikan harga kebutuhan primer dan berpotensi menurunkan kualitas hidup.

Pemerintah hanya peduli bahwa PPN telah menjadi salah satu sumber pendapatan terbesar bagi negara.

Penerimaan PPN terus mengalami peningkatan, dari Rp 384,71 triliun pada tahun 2013 menjadi Rp 811,37 triliun pada tahun 2024. Kontribusi PPN relatif stabil dalam kisaran 32 hingga 36 persen. Peningkatan kontribusi yang signifikan tercatat pada tahun 2017 sebesar 35,78 persen dan tahun 2023 sebesar 35,04 persen. Hal ini mencerminkan kebijakan yang bertujuan memperluas basis pajak pada konsumsi masyarakat untuk meningkatkan penerimaan pajak.

Namun, pertanyaan yang perlu diajukan adalah sejauh mana dana yang dihimpun melalui PPN digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kecil?

Statistik menunjukkan bahwa sebagian besar anggaran negara masih dialokasikan untuk belanja birokrasi dan pembayaran utang. Sementara itu, sektor-sektor yang langsung menyentuh kehidupan rakyat, seperti kesehatan dan pendidikan, sering kali tidak mendapatkan porsi anggaran yang memadai.

Dalam konteks ini, PPN bukan hanya sebuah instrumen fiskal, tetapi juga cerminan struktur ekonomi-politik yang belum sepenuhnya berubah dari warisan kolonial. Pajak digunakan sebagai instrumen untuk memperkuat struktur kekuasaan tanpa memberikan timbal balik nyata kepada pembayar pajak. Fenomena yang paralel dengan pengalaman masyarakat lokal di era kolonial. Pemungutan pajak dilakukan tanpa ada upaya nyata untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat.

Keadilan yang Terabaikan

Meskipun sudah menjadi bangsa yang merdeka, pemerintah didukung para teknokrat masih terus mereproduksi kebijakan mata rantai warisan kolonial. Sistem perpajakan Indonesia tidak kunjung memperkuat basis pajak penghasilan dengan meningkatkan kepatuhan wajib pajak dari kelompok berpenghasilan tinggi. Pemerintah lebih memilih cara mudah menggunakan PPN sebagai sumber utama pendapatan negara.

Padahal masyarakat perlu melihat bahwa pajak yang mereka bayarkan benar-benar digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan hanya untuk membiayai operasional negara.

Nampaknya sulit berharap sistem perpajakan dapat menjadi instrumen yang benar-benar mendukung pemerataan dan kesejahteraan. Kita masih berhadapan dengan kenyataan bahwa pajak hanya sekadar mengumpulkan pendapatan dengan cara yang tidak adil.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here