Oleh : Dendy Wahyu Anugrah
Dark age. Demikian istilah yang menurut saya cocok untuk menggambarkan situasi Tanah Air belakangan ini. Berbeda dengan wacana kekuasaan yang menyatakan bahwa dua puluh tahun lagi Indonesia akan berada di masa keemasaan, atau yang maklum disebut: Indonesia Emas. Justru anggitan pemerintah itu berbanding terbalik dengan persoalan yang muncul di permukaan realitas kenegaraan kita. Seolah-olah kita tidak diberi waktu jeda untuk bernafas lega, duduk nyaman, dan menikmati kopi seraya menentukan arah kehidupan yang tak menentu. Padahal, adalah tugas utama negara untuk menjamin keamanan dan kenyamanan seluruh rakyatnya. Tapi kali ini kita malah dikoyak-koyak oleh atraksi yang dilakukan oleh para elite negara. Maka tak ayal, kalau banyak kita menyaksikan bejibun warga negara yang ‘mampus’ dan sebel dengan mengangkat slogan #IndonesiaGelap dan #KaburAjaDulu.
Ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan dan langkah yang dilakukan pemerintah belakangan ini dianggap tidak berorientasi pada kesejahteraan umum, dan cenderung hanya menguntungkan pihak tertentu. Salah satunya ialah agenda Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI). Agenda elite kekuasaan ini memunculkan berbagai kritik dari masyarakat, misalnya yang dilakukan oleh sejumlah perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Keamanan di Hotel Fairmont Jakarta pada Sabtu (15/3/2025).
Kabar beberapa orang yang gruduk lokasi rapat untuk membahas revisi UU TNI itu viral di media sosial. Melansir Tempo.co, tujuan mereka mendatangi Hotel Fairmont itu untuk menyampaikan penolakan terhadap pembahasan RUU TNI yang diselenggarakan secara tertutup. Sekitar tiga orang datang di depan ruby meeting room Hotel Fairmont Jakarta dan menginterupsi rapat yang dihadiri oleh Komisi I DPR bersama pemerintah. Beberapa anggota dewan yang hadir, antara lain: Ahmad Heryawan, Tubagus Hasanuddin, hingga Rizki Aulia Natakusumah. Sementara Donny Ermawan, Wakil Menteri Pertahanan, sebagai perwakilan pemerintah. Untuk diketahui, Komisi I DPR sebelumnya tengah membahas revisi UU TNI bersama pemerintah pada Selasa (11/3/2025).
Orba ini, melansir Kompas.com, sudah sangat jelas ketika terjadi teror orang tidak dikenal (OTK) di kantor Kontras usai melayangkan protes atas pembahasan RUU TNI di Hotel Fairmont, dan aksi dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Keamaan justru berujung pelaporan kepada pihak berwajib. Dari fenomena ini, kita harus benar-benar mengawal dan memastikan hal ini: Kembalikan TNI ke Barak!
Kritik Atas Nalar Pak Kasad: Membaca Narasi “Otak Kampungan”
Kita sudah memahami beberapa usulan yang terdapat dalam RUU TNI yang telah dimasukkan ke dalam Prolegnas tahun ini. Secara sederhana, kita dapat memahami fenomena ini dari sisi “permukaan” dan sisi yang “tidak terkatakan”. Pertama, dari sisi “permukaan” usulan (revisi) yang ditawarkan oleh elite kekuasaan itu jelas bertolak belakang dengan semangat reformasi TNI. Malah memicu kemunduran di dalam tubuh TNI sendiri. Sedangkan dari sisi yang “tak terkatakan”, ada upaya membangkitkan kembali sistem kekuasaan model Orde Baru. Salah satu indikatornya ialah menyelundupkan pasal-pasal yang dapat memberikan keleluasaan bagi prajurit TNI aktif di dalam birokrasi.
maksud, dan tujuan diputuskannya suatu hukum. Pak Kasad harus menjawab pertanyaan ini: bagaimana jika keputusan itu justru menyengsarakan rakyat, apakah Bapak tetap loyal dengan keputusan itu?
Ketiga, kritisisme dianggap sebagai “pemikiran kampungan”. Mengenai hal ini sebenarnya kita sudah paham betul bahwa sikap kritis atau menyampaikan pendapat adalah hak asasi setiap warga negara Indonesia, dan dijamin oleh UUD 1945 maupun yang termaktub dalam UU Nomor 9 Tahun 1998. Lebih jauh, kritik merupakan upaya untuk menyampaikan kebenaran dengan landasan argumentasi logis, dan secara implisit kritik yang disampaikan itu berusaha memperlihatkan ketidaktepatan suatu kebijakan serta “membongkar” selubung kepentingan politis tertentu. Sehingga wajar, dan menurut saya “harus”, ketika rakyat mengkritisi dan menolak RUU TNI tersebut. Sebab, berlandaskan argumentasi logis, berbagai usulan dalam RUU TNI itu problematis, baik secara filosofis, historis, dan yuridis.
Seyogianya pemerintah, dan terutama Pak Kasad, menerima dengan sikap terbuka kritik yang dilontarkan oleh rakyat berkenaan dengan upaya revisi tersebut, bukan malah menuduh kritisisme rakyat (yang sebenarnya baik untuk perkembangan demokrasi) sebagai pemikiran yang “kampungan”. Menurut saya, justru yang sebenarnya memiliki “pemikiran kampungan” itu Pak Kasad Maruli. Bagaimana tidak, sebab tidak mungkin pernyataan peyoratif itu keluar dari seseorang yang diberi mandat oleh rakyat untuk menjaga pertahanan negara. Dan, nampak jelas sekali, pernyataan itu tidak melalui proses penalaran yang sehat. Bukankah demikian ini justru yang disebut sebagai “pemikiran kampungan”?
Dari pembacaan di atas, secara jelas kita dapat memahami, bahwa ketika Pak Kasad menanggapi persoalan RUU TNI tersebut, ia tidak menggunakan penalaran yang sehat—jika tidak mengatakan “tidak menggunakan nalar”. Alih-alih menyampaikan klarifikasi dan tanggapan, ia justru tergelincir pada ungkapan yang “menuduh” tanpa dasar. Oleh karena itu, dalam hal ini, Pak Kasad tidak melakukan penalaran yang jelas dalam menyikapi persoalan politik, khususnya mengenai RUU TNI ini. Jika mencermati tanggapan itu, kita melihat ada semacam upaya argumentasi dan justifikasi untuk mendukung revisi UU TNI. Sehingga, ia bisa disebut sebagai subjek yang mendukung “politik tanpa nalar” (Politics of Unreason) sebagai akibat dari sikap “taklid buta” terhadap kekuasaan negara. Maka tak heran, jika cara-cara yang digunakan sering kali tidak menggunakan nalar sehat. Barangkali hal ini adalah konsekuensi dari pengajaran dan pelatihan yang dilakukan di dalam barak—yang lebih mengasah “otot” daripada ‘otak’. (*)