Oleh : Faisal Rachman
DALAM satu dekade terakhir, terkecuali periode pandemi Covid-19, pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung stagnan di kisaran 5%.
Fenomena ini menjadi perhatian tersendiri, terutama di tengah bonus demografi yang diperkirakan akan berlangsung hingga tahun 2045, yang menjanjikan potensi bagi Indonesia untuk bertransformasi menjadi negara maju. Salah satu penyebab stagnasi pertumbuhan adalah turunnya kelompok penduduk kelas menengah menjadi kelompok calon kelas menengah dan rentan miskin.
Lalu, apa yang mendasari penurunan kelas tersebut sehingga berujung pada tertahannya laju pertumbuhan ekonomi Indonesia?
Pertumbuhan rata-rata gaji bulanan di Indonesia cenderung mengikuti perubahan harga komoditas. Ketika harga komoditas naik, gaji akan meningkat, dan sebaliknya, menunjukkan ketergantungan ekonomi Indonesia pada sektor komoditas.
Pada 2023, pertumbuhan rata-rata gaji melambat, turun dari 13,5% pada 2022 menjadi 4,1% secara nominal (belum disesuaikan dengan inflasi) atau dari 4,0% menjadi 2,5% secara riil (sudah disesuaikan dengan inflasi), seiring dengan normalisasi harga komoditas.
Namun jika dilihat lebih rinci, di pedesaan, pertumbuhan gaji justru naik dari 6,3% menjadi 8,0% secara nominal, atau dari 1,0% menjadi 4,5% secara riil. Sementara di perkotaan, pertumbuhan gaji turun signifikan dari 14,9% menjadi 2,8% secara nominal, atau terkontraksi dari 9,5% menjadi -0,1% secara riil.
Kondisi ini mencerminkan penurunan daya beli di kalangan penduduk perkotaan yang mayoritas adalah kelas menengah, mengindikasikan fokus kebijakan pemerintah beberapa tahun terakhir lebih diarahkan kepada pembangunan pedesaan. Sekitar 72,9% kelas menengah tinggal di perkotaan.
Penyebab lain menyusutnya proporsi penduduk kelas menengah adalah penurunan rasio disposable income terhadap PDB per kapita (selisih antara personal income, yang termasuk di dalamnya subsidi dan transfer payment, dengan pajak langsung). Rasio ini menurun dari 76,0% pada 2010 menjadi 73,0% pada 2023.
Apa penyebab utamanya? Penurunan ini sebenarnya lebih disebabkan oleh menurunnya rasio subsidi dan bantuan sosial terhadap PDB, yang berdampak pada menurunnya personal income. Beban pajak langsung yang tercermin dari rasio penerimaan pajak penghasilan terhadap PDB stabil di kisaran 5%, sedangkan rasio total belanja subsidi dan bantuan sosial turun dari 3,8% menjadi 2,0%.
Sementara itu, peningkatan rasio total belanja pegawai, barang, dan modal pemerintah dari 4,8% menjadi 5,5% terhadap PDB memiliki dampak terbatas pada pendapatan masyarakat. Kondisi ini menunjukkan multiplier effect belanja fiskal terhadap pendapatan masyarakat yang masih cukup rendah.
Penurunan rasio disposable income membatasi ruang pertumbuhan ekonomi Indonesia karena memicu terjadinya permasalahan saving-investment gap. Alokasi pendapatan untuk menabung turun dari 33,0% pada 2010 menjadi 30,4% pada 2023. Dikarenakan tabungan adalah sumber investasi, kondisi ini berdampak pada turunnya investasi karena masyarakat cenderung akan mempertahankan tingkat konsumsinya.
Jika tingkat investasi tetap ingin dipertahankan ketika tabungan menurun, risiko pelebaran twin deficit akan terjadi, yaitu pelebaran defisit fiskal dan defisit neraca transaksi berjalan.
Sebagian besar barang modal untuk aktivitas investasi didapat dari impor. Hal ini dapat memicu terjadinya pelebaran defisit neraca transaksi berjalan, terutama ketika kinerja ekspor melemah akibat normalisasi harga komoditas. Defisit neraca transaksi berjalan secara umum dibiayai dengan surplus neraca finansial yang sebagian besar berasal dari surplus investasi langsung.
Namun, nilainya relatif tidak banyak berubah pada periode 2010-2023. Pelebaran defisit neraca transaksi berjalan sering kali dibiayai oleh net inflow pada investasi portofolio, yang sebagian besar dalam bentuk kepemilikan SBN oleh asing. Dilema terjadi ketika pemerintah ingin meningkatkan belanja fiskal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Hal tersebut dapat memicu melebarnya defisit fiskal lebih lanjut, sehingga penerbitan SBN akan meningkat drastis. Penerbitan SBN yang cukup tinggi akan menurunkan harganya dan menaikkan yield-nya. Dampaknya adalah beban bunga cenderung akan naik yang malah akan melebarkan defisit neraca pendapatan primer pada neraca transaksi berjalan. Akibatnya twin deficit dapat semakin melebar, yang dalam jangka menengah panjang malah semakin menghambat pertumbuhan ekonomi.
Tabungan dapat dikelompokkan menjadi tabungan publik dan swasta. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa pada periode 2010-2023, termasuk ketika periode commodity boom, tabungan publik cenderung meningkat sementara tabungan swasta menurun. Rasio tabungan publik naik dari 1,6% menjadi 1,9% terhadap PDB, sedangkan rasio tabungan swasta turun dari 32,0% menjadi 28,5% terhadap PDB.
Penurunan tabungan swasta tersebut sejalan dengan menurunnya disposable income. Dampak positif dari commodity boom terhadap gaji menjadi terbatas karena pemerintah cenderung menaikkan harga bahan bakar dan energi pada periode tersebut.
Rasio disposable income yang cenderung terus menurun, sementara rasio konsumsi swasta cenderung tetap berada pada kisaran 55% dari PDB, menyebabkan penurunan rasio tabungan swasta. Fenomena ini lebih dikenal dengan istilah ‘makan tabungan’.
Sejalan dengan agenda pemerintahan baru untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi ke atas 5%, berbagai permasalahan tersebut terlebih dahulu perlu dituntaskan. Pertama, transformasi struktural, termasuk reindustrialisasi, peningkatan peran Indonesia pada global supply chain, dan peningkatan peran UMKM dalam domestic supply chain, perlu untuk dipercepat guna mengurangi ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap komoditas.
Kebijakan ini juga dapat mengurangi risiko pelebaran twin deficit ketika pertumbuhan ekonomi terakselerasi. Kedua, kebijakan fiskal juga perlu didesain untuk dapat membantu kelompok kelas menengah yang sebagian besar tinggal di perkotaan melalui perbaikan pelayanan publik dengan harga terjangkau.
Hal ini mencakup namun tidak terbatas pada perbaikan jasa transportasi umum, penyediaan air bersih, biaya pendidikan yang terjangkau, dan penyediaan tempat tinggal terjangkau di daerah-daerah strategis.
Ketiga, perlunya meningkatkan share sektor formal dengan memformalkan sektor informal melalui pemanfaatan ekonomi digital, sehingga tax ratio dapat naik melalui pelebaran tax base, tanpa perlu meningkatkan tax rate.
Keempat, meningkatkan disposable income melalui peningkatan efisiensi dan efektivitas belanja fiskal, serta terus memberantas praktik korupsi melalui reformasi fiskal dan birokrasi, sehingga multiplier effect kebijakan fiskal dapat meningkat.
Kelima, pengendalian tingkat inflasi, baik di perkotaan maupun di pedesaan, harus terus dijaga guna mempertahankan daya beli dan menjaga tingkat suku bunga dalam level yang favorable.
Terakhir, peningkatan disposable income dapat mengurangi permasalah saving-investment gap. Sejalan dengan itu, FDI perlu ditingkatkan untuk mengurangi beban penerbitan SBN.
Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan ease of doing business melalui perbaikan infrastruktur dan logistik, perbaikan SDM, penyederhanaan regulasi serta perbaikan sinkronisasi aturan pusat dan daerah, dan mengurangi praktik red tape.
Penulis adalah Kepala Riset Makroekonomi dan Pasar Financial Bank Permata