Refleksi Hari Pancasila 1 Juni 2017
“Kita bersama-sama mencari persatuan philosophische grondslag, mencari suatu ‘Weltanschauung’ yang kita semua setuju. Saya katakan lagi setuju!”, ujar Bung Karno dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang BPUPK. Dasar falsafah yang kemudian dimaksud Bung Karno adalah Pancasila, sebuah sistem filsafat, dasar negara, sekaligus pengikat seluruh perbedaan yang menyeruak dari ujung Barat sampai Timur Indonesia, yang bisa diterima oleh semua pihak.
Gagasan Bung Karno diterima seluruh peserta sidang, dan semenjak itu Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara Republik Indonesia.
Pancasila yang digagas Bung Karno bisa dikatakan sebagai hasil refleksi dan ikhtiarnya, jauh sebelum Indonesia merdeka, dalam merumuskan suatu landasan bersama yang mampu mewadahi keragaman nusantara. Landasan tempat berpijak bagi keberagaman tersebut adalah kebangsaan.
Rasa kebangsaan merupakan identitas kolektif yang diyakini Bung Karno mampu mengikis dan mengatasi perbedaan ras, agama, kelas, suku, etnis, golongan, dan lainnya. Ini ditegaskan oleh pendirian Bung Karno yang mengacu secara terang-terangan pada pemahaman Ernest Renan bahwa identitas nasional ditentukan oleh sejauh mana individu meresapi rasa senasib, kesejarahan dan solidaritas kebersamaan. Kebangsaan sebagai landasan mesti dirumuskan kembali secara lebih jelas dalam wujud nyata yakni di dalam Pancasila.
Semenjak ini diterima dalam sidang BPUPK, maka kebangsaan Indonesia yang kemudian terbentuk memang benar-benar didasarkan pada suatu rumusan politik yang sedemikian rupa sebagai rasa senasib dan sepenanggungan dalam sejarah. Jadi pertanggungjawaban tertinggi atas sejauh mana dan sedalam apa warga “meng-Indonesia” atau tidak, bergantung pada rasa solidaritasnya dan keterlibatannya dalam perasaan tersebut. Bung Karno dan para pendiri bangsa lainnya, kemudian memberikan sebuah pengukuhan terhadap dasar identitas nasional yang terbentuk itu dengan memancangkan sebuah prinsip politik yang melengkapi rasa kebangsaan: Pancasila.
Dengan weltanschauung (pandangan hidup) maka Sukarno meletakkan Pancasila sebagai semacam perspektif, yakni cara kita melihat dan memandang dunia. Sebagai perspektif, maka Pancasila berfungsi secara positif yakni memberikan instrumen untuk memahami realitas, semacam obor penerang atau peta yang memberi arah dan orientasi, semacam jendela di mana dari bidangnya yang terbatas kita mampu menjangkau cakrawala atau horizon yang jauh lebih luas. Pancasila sebagai perspektif ini secara positif diperkuat dan dipertegas dengan konsepsi keduanya yakni sebagai filsafat dasar bernegara.
Dengan demikian ia memiliki setidaknya tiga sifat yakni: pertama, memberikan orientasi; kedua, wacana yang bisa dipertanggungjawabkan secara rasional dan dialogis; dan yang ketiga berfungsi kritis. Dengan menyebut Pancasila sebagai falsafah dasar, maka Bung Karno sekaligus hendak meletakkan Pancasila tidak hanya sebagai nilai-nilai yang memberikan orientasi tetapi juga pijakan untuk memandang dan mentransformasi dunia luar.
Dengan pengukuhan ideal ini, maka pada akhirnya Pancasila terwujud secara politik sebagai simbol paling penting – selain Burung Garuda, bahasa Indonesia, bendera, dan sebagainya – dari identitas nasional yang memiliki substansi, yakni: pertama, merupakan sebuah penanda politik dari pendirian sebuah kepolitikan republik Indonesia; kedua identitas nasional yang mencakup kekhasan filosofis dan normatif, artinya Pancasila bisa dipakai untuk mengevaluasi dan mengkritik secara ke dalam.
Ketiga, memang secara rasional dan terbuka dipilih sebagai jalan untuk mengikat dan mempersatukan perbedaan yang bisa mencerai-beraikan Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan; artinya, Pancasila sebagai identitas nasional selain memiliki fungsi normatif juga memiliki fungsi instrumental, yakni mempersatukan dan memberikan tanda di dalam persatuan politik tersebut. Ketiga substansi inilah yang kemudian pada tahap akhir berkembang dan secara kultural kemudian disebut sebagai sebagai jati diri bangsa.
Hari-hari ini, apa yang digagas Bung Karno terbukti relevan. Hari-hari ini kita menyadari sepenuhnya betapa Pancasila merupakan panduan bagi perjalanan kebangsaan kita, terutama dalam menghadapi berbagai ancaman. Riak-riak perpecahan, menjulangnya ketimpangan sosial, menipisnya rasa senasib dan solidaritas, merupakan fakta-fakta dan yang kita temui setiap hari, baik dalam kehidupan yang kita alami, maupun melalui media-media surat kabar dan televisi. Hari-hari ini, yang kita hadapi adalah ancaman perpecahan, terorisme, mengentalnya identitas primordial (suku, agama dan ras), dan tersingkirnya solidaritas sosial kebangsaan yang menjadi rantai pengikat kita sebagai bangsa selama berabad-abad.
Ikatan kebangsaan kita sedang koyak oleh sentimen-sentimen yang selama ini diikat-rekat oleh Pancasila. Kebhinnekaan sebagai sumber kekuatan, sedang didorong ke tepi, disingkirkan, dan coba dinafikan. Rasa senasib, kesejarahan dan solidaritas bersama sedang dijungkirbalikkan oleh elemen-elemen yang memiliki tendensi ingin mengganti Pancasila sebagai nilai pokok kita dalam berbangsa dan bernegara.
Kita membutuhkan kembali penguatan kita akan Pancasila, sebagai dasar kita hidup di dalam Indonesia. Semenjak Indonesia keluar dari tabir gelap Orde Baru, dan menyingkap zaman reformasi yang penuh harapan, cita-cita yang dijunjung Bung Karno dan para pendiri bangsa lainnya, belum sepenuhnya berhasil diujudkan.
Reformasi berjalan terseok-seok. Korupsi, kolusi, kesewenangan para pejabat, konflik sosial, kriminalitas, menyeruak di mana-mana. Politik uang merajalela. Kerusakan alam tak henti-henti. Rakyat miskin dan kecil semakin terpinggir. Terpojok sampai ke tepi jurang. Pemerintahan silih-berganti dan persoalan tak kunjung mendekati titik terang. Tak sedikit rakyat frustrasi dan tidak ambil peduli.
Namun, harapan baru terbit kembali. Terpilihnya Joko Widodo sebagai presiden yang mendapat dukungan energi rakyat, seakan memberikan cahaya baru mewujudkan cita-cita Pancasila yang nyaris terbenam. Naiknya Joko Widodo sebagai Presiden RI membentangkan semangat baru, dan penanda bagi lahirnya era baru. Era di mana cita-cita yang dicetuskan dalam proklamasi dan mukadimah UUD 1945 memiliki harapan terwujud.
Dalam era baru inilah besar harapan kita agar Pancasila dikembalikan pada jalannya semula. Yakni sebagai pemersatu, pengikat, dasar, landasan, pandangan hidup yang menjadi panduan kita untuk melewati “jembatan emas” untuk selamat sampai tujuan, yakni masyarakat sejahtera, adil dan diikat oleh solidaritas kebangsaan yang lekat.
Untuk itu, kami DPP PROJO mengajak seluruh pihak dan elemen kebangsaan untuk:
- Mendukung Presiden Joko Widodo mengembalikan kembali semangat dan jiwa Pancasila yang belakangan mulai ditanggalkan dan diabaikan. Kerja-kerja keras Presiden Joko Widodo dan seluruh anggota kabinetnya untuk menjadikan Pancasila sebagai landasan bersama yang mampu mewadahi keragaman nusantara, melalui program Nawacita, harus kita dukung dan jaga terus-menerus di hari-hari depan.
- Mendukung Presiden Joko Widodo dan seluruh aparat penegak hukumnya bertindak tegas terhadap setiap kelompok maupun perorangan yang memiliki tujuan mengganti Pancasila dengan nilai-nilai lain yang bertentangan dengan jiwa kebangsaan kita yang khas, dan kemajemukan yang dianugerahkan Tuhan YME atas bangsa Indonesia.
- Mendukung Presiden Joko Widodo mengemban amanat yang ditorehkan oleh Bung Karno dan para pendiri bangsa lainnya, yakni membawa bangsa Indonesia melalui “jembatan emas” yang sudah dipancangkan para pendiri bangsa, dengan berpegang pada Pancasila sebagai kompas, penuntun dan penunjuk arah, perjalanan kita sebagai bangsa ke depan.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan berkat dan rahmat bagi kita semua, dan selalu menjaga dan melindungi bangsa Indonesia.
Saya Indonesia, Saya Pancasila ! Kita Indonesia, Kita Pancasila !
Jakarta 1 Juni 2017
Dewan Pimpinan Pusat PROJO
Budi Arie Setiadi
(Ketua Umum )