Home News UU Perdagangan Picu Kelangkaan Minyak Goreng

UU Perdagangan Picu Kelangkaan Minyak Goreng

0
SHARE

Matanurani, Jakarta – Ketua Departemen Hukum Tata Negara UGM, Zainal Arifin Mochtar menjadi ahli dalam sidang judicial review UU Perdagangan yang dipersoalkan oleh pedagang pecel lele, Muhammad Hasan Basri. Zainal Arifin Mochtar menilai UU Perdagangan terlalu multitafsir sehingga bisa memicu penimbunan dan berujung kelangkaan minyak goreng.

Menurut Zainal Arifin Mochtar, Pasal 29 ayat (1)UU Perdagangan, selama tidak terjadi kelangkaan barang, gejolak harga dan atau hambatan lalu lintas perdagangan maka pelaku usaha dapat melakukan penimbunan. Secara spesifik sebenarnya pasal itu lebih ditujukan ke arah pada saat terjadinya kelangkaan barang.

“Selama tidak terjadi kelangkaan barang, orang boleh melakukan penimbunan, padahal klausula ayat (1) itu yang menyebabkan orang seakan-akan boleh melakukan penimbunan. Apalagi untuk barang-barang yang sangat dekat dengan hajat hidup orang banyak itu sangat berbahaya. Orang kemudian menganggap karena spesifik pasal 29 itu dilarang adalah penimbunan di masa tertentu itu yang kemudian membuat orang merasa tidak apa-apa melakukan penimbunan,” ujar Zainal Arifin Mochtar yang tertuang dalam risalah putusan MK, Selasa (2/8).

“Klausula itu yang mengakibatkan pedagang pecel lele tidak memperoleh apa-apa lagi karena ketika ia membeli memang dia boleh melakukan penimbunan juga dengan alasan produksi tetapi ia sudah mendapatkan dengan harga yang sangat mahal.

Dan kalaupun dia ingin melakukan penimbunan otomatis harga yang didapatkan juga sudah cukup tinggi. Dan itu yang mengakibatkan beberapa pedagang pecel lele tidak bisa melakukan penjualan karena harga minyak cukup tinggi,” ungkap Zainal Arifin Mochtar.

Menurut Zainal Arifin Mochtar, Pasal 29 ayat (1)itu membuka kesempatan penimbunan bahkan penimbunannya dibatasi dalam keadaan dan jangka waktu tertentu tetapi efeknya lebih kepada pengusaha besar dan distributor. Hal Itu malah menekan pedagang pecel lele atau rantai pasok paling terakhir dalam proses distribusi barang.

“Dua ayat tersebut harus diimbuhi dengan aturan yang lebih detil. Bahwa memang dilarang melakukan penimbunan pada saat keadaan tertentu maka yang paling dijaminkan duluan adalah kestabilan harga bukan memberikan kesempatan untuk melakukan penimbunan. Sehingga orang yang berproduksi semacam penjual pecel lele pun sebenarnya bisa melakukan penimbunan dalam jangka waktu tertentu tetapi tentu saja dengan harga yang sudah lebih dijaga,” lanjut Zainal Arifin Mochtar

Zainal Arifin Mochtar menilai frasa “dalam jumlah dan waktu tertentu” dikaitkan dengan frasa “dilarang menyimpan” sebagaimana dirumuskan dalam norma Pasal 29 UU Perdagangan dapat ditafsirkan bahwa yang diatur dalam norma tersebut lebih cenderung kepada tindakan atau perbuatan menyimpannya. Artinya, tindakan atau perbuatan menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting lainnya merupakan suatu tindakan atau perbuatan melawan hukum apabila hal itu dilakukan dalam kondisi tertentu, baik untuk kepentingan produksi maupun untuk distribusi, walaupun hal tersebut masih dalam batas wajar. Justru karena kondisi tertentu atau tidak normal tersebut, seharusnya kebutuhan pokok atau barang penting lainnya didistribusikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.(Sib).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here