Matanurani, Jakarta -. Inflasi tinggi kini tengah dihadapi beberapa negara. Terutama di Amerika Serikat (AS) yang laju inflasinya mencapai 7%, tingkat inflasi tertinggi selama 4 dekade.
“Hal ini terjadi karena Pemerintah AS menyuntikkan stimulus yang besar hampir mencapai 25% dari produk domestik bruto (PDB) pada September 2021. Stimulus ini terbesar diantara negara-negara maju lainnya”, ujar Team Kebijakan Makro Ekonomi dan Ekonomi Politik LPEM UI Nauli Desdinani dalam konferensi pers, Jumat (4/2).
Meskipun guyuran stimulus ini efektif menjaga tingkat kemiskinan dan membantu aktivitas perekonomian, namun di AS juga terjadi peningkatan permintaan yang kuat karena stimulus dengan nilai jumbo yang dipompa ke perekonomian. Hal ini ditunjukkan pertumbuhan tahunan pendapatan rumah tangga AS sebesar 6,1% dibandingkan tahun 2020.
Pertumbuhan pendapatan rumah tangga ini juga merupakan tertinggi keempat di antara negara-negara OECD setelah Kanada, Chile dan Irlandia.
Disaat banyak negara maju dan berkembang menghadapi inflasi yang tinggi, laju inflasi Indonesia relatif masih terkendali meski mulai merangkak naik.
Nauli menyebut, meskipun terjadi tren kenaikan, inflasi keseluruhan di tahun 2021 tercatat sebesar 1,87% (y.o.y) dan masih di bawah kisaran target Bank Indonesia (BI) sebesar 2%.
“Ini disebabkan rendahnya stimulus Indonesia jika kita bandingkan dengan negara lain. Anggaran stimulus Indonesia itu sekitar 9,3% dari PDB 2020. Meskipun lebih tinggi dari negara berkembang sebesar 5,1%, namun masih jauh dari AS dan Inggris yang mencapai 25,5% dan 19,3% dari PDB nya,” kata dia.
Stimulus tersebut memang mampu menekan tingkat pengangguran dan kemiskinan di Indonesia, namun belum mendekati level pra pandemi.
Disisi lain, lonjakan harga komoditas global juga berdampak terhadap harga komoditas utama Indonesia khususnya batubara, gas, nikel dan minyak sawit mentah (CPO). Secara keseluruhan inflasi global berpotensi mengganggu rantai pasok tidak hanya di pasar global saja, namun di industri dalam negeri juga.(Ktn).