
Matanurani, Jakarta – Dalam upaya menangani pandemi Covid-19, pemerintah telah mengambil sejumlah kebijakan, termasuk mengeluarkan anggaran stimulus sebesar Rp 405,1 triliun. Namun berbagai upaya yang dilakukan pemerintah tersebut lebih banyak direspons negatif oleh publik. Hal ini terlihat dari hasil riset big data kebijakan pemerintah terkait Covid-19 yang dilakukan Institute for Development of Economics and Finance (Indef).
Dalam riset big data ini, percakapan yang berhasil dijaring dari media sosial (Twitter) mencapai 476.700 percakapan yang berasal dari 397.200 orang atau akun. Buzzer yang melakukan percakapan berulang-ulang dihilangkan untuk meningkatkan obyektivitas dari riset big data ini. Analisis data dilakukan pada 27 Maret-25 April 2020.
Dari hasil riset ini, 32,23 persen memberikan sentimen positif terhadap kebijakan pemerintah terkait Covid-19, sementara yang memberikan sentimen negatif 67,77 persen. Hasil ini tidak berbeda jauh dengan riset big data yang dilakukan Indef sebelumnya dalam periode analisis 27 Februari – 23 Maret 2020 terhadap 135.000 orang atau akun dan 145.000 perbincangan, di mana 33,72 persen memberikan sentimen positif dan 66,28 persen memberikan sentimen negatif.
“Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah belum mampu menggerakkan sentimen publik ke arah yang lebih positif. Mayoritas sentimen publik masih negatif,” kata peneliti Indef-Datalyst Center, Imam Maulana melalui telekonferensi, Minggu (26/4).
Berbagai isu yang paling banyak diperbincangkan berdasarkan hasil riset Indef antara lain terkait Jaring Pengaman Sosial (56 persen sentimen negatif), Kartu Prakerja (81 persen sentimen negatif), pangangguran akibat Covid-19 (84 persen sentimen negatif), Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB (79 persen sentimen negatif), ketidaktegasan larangan mudik (54 persen sentimen negatif), pembebasan narapidana (46 persen sentimen negatif), pembebasan listrik (6 persen sentimen negatif), dan aturan khusus penghinaan presiden (89 persen sentimen negatif).
Ekonom senior Indef, Didik Junaidi Rachbini menambahkan, suatu kebijakan publik berpotensi gagal apabila kebijakan tersebut tidak dipahami oleh masyarakat luas. Karena itu, secara teoretis kebijakan publik harus dikonseptualisasikan secara jelas dan detail, kemudian disosialisasikan sebagai tahap paling awal dari kebijakan publik tersebut.
“Karena pandemi ini datang begitu cepat tetapi pemerintah terlambat mengatasinya, maka tahap awal ini tidak sempurna dijalankan sehingga terjadi kebingungan publik. Sentimen negatif terhadap kebijakan pemerintah bersumber pada masalah ini. Selain itu, sentimen negatif dan kebingungan yang terjadi sejak Februari (riset pertama) sampai bulan April ini dipicu oleh simpang siur satu dengan yang lainnya dari pernyataan pejabat pemerintah,” kata Didik.
Wakil Direktur Indef, Eko Listiyanto juga menambahkan, untuk memperbaiki sentimen negatif yang masih mendominasi, pemerintah perlu melakukan penguatan konsep implementasi dari program-propram penanganan Covid-19 yang sudah ditetapkan.
“Perlu penguatan konsep implementasinya, bagaimana kemudian kebijakan ini bisa sampai ke masyarakat. Sehingga ketika mereka misalkan nge-Tweet, yang disampaikan adalah hal-hal yang positif seperti bantuan yang sudah diterima. Sehingga penanganan Covid-19 ini benar-benar menimbulkan optimisme di masyarakat,” kata Eko.(Bes).