Matanurani, Jakarta – Sejumlah kalangan menilai peningkatan diplomasi ekonomi untuk memacu ekspor tidak akan efektif, apabila Indonesia tidak memiliki beragam produk yang akan ditawarkan ke pasar global. Untuk itu, pemerintah harus memiliki komitmen tinggi dan nyata untuk memperkuat industri bernilai tambah nasional, sehingga mampu menghasilkan aneka produk berdaya saing tinggi yang akan dijual di pasar ekspor.
Direktur Pusat Studi Masyarakat (PSM) Yogyakarta, Irsad Ade Irawan, mengemukakan diplomasi ekonomi memang penting, tapi sebelumnya Indonesia harus memperkuat industri bernilai tambah yang didukung komitmen kuat dari pemerintah. “Kalau industri nilai tambah kita tidak kuat, kita tidak punya barang yang bisa ditawarkan dalam diplomasi ekonomi.
Ekspor kita masih didominasi komoditas primer, seperti sawit dan batu bara,” ujar dia, Selasa (13/2) kemarin. Menurut Irsad, dukungan penuh pemerintah sangat penting bagi kemajuan industri. Contohnya, Tiongkok berencana membangun pusat baterai lithium terbesar di dunia untuk menyaingi Tesla dari Amerika Serikat.
Ini berkat dukungan kuat pemerintah. Dia juga menyatakan sebelum membangun industri bernilai tambah, Indonesia harus terlebih dahulu memperkuat industri dasar termasuk pangan. Akan tetapi, menurut dia, saat ini industri dasar nasional tertinggal karena sistem kebijakan pemerintah yang tidak mendukung.
“Yang terjadi adalah high cost economy, dan kebijakan yang condong bela importir. Padahal, yang diminta pengusaha itu bukan proteksi, tapi keberpihakan. Jika pemerintah tidak berpihak, industri sulit maju bahkan bisa mati,” papar Irsad. Faktanya, ungkap dia, selama bertahun-tahun hingga saat ini Indonesia cuma jadi perakit.
Pengusaha lebih memilih menjadi importir karena modal tidak terlalu besar, produknya relatif lebih bagus, harga lebih murah, dan keuntungan lebih tinggi. Menanggapi ketertinggalan ekspor Indonesia, sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta para duta besar Indonesia agar lebih intensif melakukan diplomasi ekonomi, terutama untuk meningkatkan nilai ekspor dan investasi Indonesia ke berbagai negara pasar nontradisional.
Presiden mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi negara hanya bergantung pada dua hal, yaitu investasi dan ekspor. “Jadi, bapak/ibu dubes harus berhadapan pada dua hal ini untuk menjalankan diplomasi ekonomi kita di luar negeri,” ujar Jokowi, Senin (12/2).
Kepala Negara mengungkapkan nilai ekspor Indonesia masih kalah jauh dengan Malaysia, Thailand, dan Filipina, padahal Indonesia merupakan satu-satunya negara Asia Tenggara yang masuk 20 ekonomi terbesar dunia atau G20. “Negara sebesar Indonesia nilai ekspornya kalah dengan Malaysia, Thailand, Filipina. Bahkan, dengan Vietnam hampir separuhnya nilai ekspor kita. Kita itu monoton gak pernah lakukan terobosan,” tegas Jokowi.
Produk Andalan
Ekonom Indef, Achmad Heri Firdaus, mengatakan ekspor Indonesia kalah dengan negara lain karena sejatinya Indonesia tidak punya produk andalan yang bisa dijual. “Kalau kita mau diplomasi tapi nggak ada produk yang bisa dijual, katakanlah produk yang dijual hanya itu-itu saja, nggak ada pengembangan produk, maka negara target pasar itu justru yang malah ekspor ke Indonesia.
Sehingga, blunder lagi buat kita,” kata dia. Akibatnya, lanjut dia, impor Indonesia malah semakin besar dan ekspornya tidak berkembang sehingga neraca perdagangan defisit. “Karena itu, untuk meningkatkan ekspor sebenarnya bukan ikut-ikutan kesepakatan perdagangan bebas segala macam di sana-sini, tapi perkuat industri nasional,” tukas Heri.
Menurut dia, industri dasar yang mesti disiapkan terutama industri petrokimia dan baja. Sayangnya, kedua industri ini kurang mendapat perhatian dari pemerintah. “Kedua industri ini kunci untuk membangun industri lain karena digunakan seluruh manusia di dunia,” kata Heri.
Setelah kedua industri ini cukup baik, Indonesia bisa menyiapkan industri lain atau hilirnya terutama industri yang bahan bakunya berasal dari dalam negeri, seperti industri agro. (Koj).