Matanurani, Jakarta – Perhelatan pemilihan kepala daerah (Pilkada) beberapa waktu lalu disinyalir memberi efek negatif lebih banyak ke perekonomian nasional. Pasalnya, Pilkada 2018 hanya mengalirkan dana ke perekonomian Rp 34 triliun, namun di sisi lain investasi terhambat karena investor masih wait and see dan juga stabilitas politik yang ikut terganggu.
Menurut data perhitungan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) di tahun 2018, sumbangan terbesar anggaran Pilkada berasal dari belanja administrasi pemerintahan, pertahanan dan jaminan sosial wajib sebesar Rp 20 triliun.
Disusul belanja pada sektor industri pengolahan sekitar Rp 14 triliun. Belanja di sektor industri ini ditujukan untuk membeli atribut pemilu seperti kaos, baliho, souvenir dan percetakan.
Enny Sri Hartati, Direktur Indef mengatakan, penjualan di sektor retail pada Pilkada kemarin rata-rata kenaikannya hanya 5%. ” Kemarin waktu ada lebaran dan Pilkada rata-rata kenaikan penjualan retail hanya 5 %,” ujarnya, Selasa (31/7).
Pos belanja berikutnya adalah belanja untuk ongkos transportasi sekitar Rp 5 triliun. Ongkos transportasi seperti penyewaan pesawat, sewa mobil untuk mobilisasi massa dan kendaraan operasional pada masa kampanye.
Pengeluaran selanjutnya ditujukan di sektor jasa penyiaran dan pemrograman, film dan hasil perekaman suara sekitar Rp 5 triliun. Pada jasa penyiaran, dana kampanye baik dari pemerintah dan paslon digunakan untuk media iklan. Pada sektor terakhir, belanja digunakan antara lain untuk honor panwaslu dan KPU.
Di sisi lain, perhitungan jangka pendek dari angka Pilkada tersebut dapat hilang sekejap karena karena kerugian dari konflik yang terjadi saat Pilkada berlangsung, seperti konflik antar masyarakat yang sewaktu-waktu bisa muncul selama masa kampanye dan pasca pencoblosan.
Kerugian yang timbul antara lain adalah, rusaknya bangunan publik dan pribadi masyarakat, terhentinya layanan publik, terhentinya aktivitas ekonomi dan bahkan korban luka-luka.
Sebelumnya juga, para investor yang ingin masuk ke Indonesia cenderung melakukan wait and see, karena mereka lebih memilih menunggu dan melihat kebijakan yang akan diterapkan oleh para paslon yang terpilih ke depannya.(Ktn).