Program Makan Bergizi Gratis (MBG) tak ubahnya program ‘sapujagat’. Dampaknya, tak hanya membuat anak sekolah mendapat asupan gizi gratis. Efek ekonominya bisa luar biasa. Sayangnya masih jauh panggang daripada api.
Adalah Muhammad Arbani, pengamat usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang pertama kali menyebut program MBG yang digagas Presiden Prabowo Subianto sebagai program sapujagat.
Karena itu tadi, program MBG yang menyasar ibu hamil dan ibu menyusui bertujuan untuk mencegah stunting. Di mana, jumlah anak yang mengalami gangguan pertumbuhan akibat kurang gizi (stunting) di Indonesia, masih tinggi.
Pada 2023, angka prevalensi stunting nasional mencapai 21,5 persen. Atau hanya turun 0,1 persen dibandingkan 2022 yang mencapai 21,6 persen.
Selain itu, manfaat ekonomi khususnya bagi pengusaha kecil kelas UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) yang paling penting.
Perekonomian nasional sangat bergantung nasib UMKM yang kontribusinya nyaris 99 persen. Dan, serapan pekerja sektor ini luar biasa besarnya. Pintu UMKM terlibat dalam program MBG, harus dibuka selebar-lebarnya.
Belum lagi sektor logistik, pengemudi transportasi online memegang peran besar dalam proses distribusi program MBG. Petani dan peternak akan kebagian juga manfaatnya.
“Pemerintah harus bisa memastikan yang menjadi vendor dari Makan Bergizi Gratis adalah UMKM. Bukan usaha besar dengan embel-embel UMKM,” kata Arbani, Jakarta, Senin (13/1) lalu.
Arbani benar. Kalau semua itu terjadi, dahsyat efeknya untuk rakyat. Perekonomian nasional bakal mencelat tinggi. Bahkan bisa melebihi 8 persen, di atas ekspektasi Presiden Prabowo.
Tapi sayang, kenyataan tak seindah harapan. Ketika Presiden Prabowo berharap program BGN bisa menumbuhkan UMKM dan ekonomi, justru tak terjadi.
Sebenarnya, Prabowo sudah mencium gelagat kurang baik dari pelaksanaan program MBG sebelum dimulai pada 6 Januari 2025.
Dia kecewa dengan penjelasan Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana yang beruah-ubah soal jumlah SPPG. Belakangan ketahuan, dapur umum untuk MBG hanya ratusan yang siap. Padahal, kebutuhan mencapai 5.000 SPPG.
Benar feeling presiden, banyak karut marut dalam pelaksanaan program MBG. Bisa jadi, memantik Presiden Prabowo ogah berkomentar soal MBG. Padahal program ini adalah prioritas bagi Prabowo.
Upaya memberikan asupan gizi kepada siswa sekolah secara gratis, malah melahirkan banyak masalah. Paling heboh, sebanyak 40 siswa SDN Dukuh 03 Sukoharjo, Jawa Tengah, mengalami keracunan.
Belum lagi masalah lain. Menunya yang tak pas di lidah anak sekolah. Atau beberapa daerah program MBG tetunda karena alasan anggaran, atau belum adanya Satuan Pelayanan PemenuanGizi (SPPG) alias dpur MBG.
Masalah krusial lainnya, UMKM tak kebagian berkah. Banyak yang mental atau gagal menjadi vendor SPPG. Kalah dengan pengusaha bermodal besar.
Bisa jadi karena program ini jadi rebutan karena ada anggaran jumbo sebesar Rp71 triliun. Wajar banyak yang berebut ingin menang. Banyak pula oknum tak baik di sekeliling program ini. Orientasinya hanya mengeruk cuan maksimal.
Sulitnya UMKM terlibat dalam program MBG ini, karena Badan Gizi Nasional (BGN) selaku penyelenggara, menerapkan syarat berat. Kali ini bukan laut yang dipagari tapi UMKM.
Berdasarkan penelusuran Inilah.com, calon vendor SPPG, misalnya, harus menyediakan lahan yang cukup luas untuk dapur dan menampung makanan sebanyak 3.000 porsi. Luasnya minimal 200-300 meter-persegi.
Selanjutnya, lahan tersebut dibangun menjadi dapur dengan spesifikasi BGN. Jika tak punya lahan, maka harus sewa. Kemudian lahan tersebut dibangun sebagai dapur. Sedangkan untuk belanja alat dapur, sediakan saja Rp700 juta-Rp800 juta. Bukan kelas UMKM.
Pun urusan wadah makan atau ompreng, cukup berat. Karena itu tadi, standarnya bukan untuk UMKM. Ompreng atau wadah harus memiliki lima sekat, berbahan stainless SUS304. Ukurannya 28x22x4 sentimeter dengan ketebalan 0,4 milimeter.
Material wadah memiliki kandungan nikel di bawah 10 persen, dan tingkat cromium-nya 8. Jadi bukan sekadar wadah. Nah, harga di marketplace lumayan mahal. Kisaran Rp47.000-Rp55.000 sebiji.
Anehnya, jika calon vendor mencari ompreng di marketplace, bakalan sulit. Karena perlunya 3.000 buah, waktunya singkat. Kalau gagal, masih ada jalan tapi mahal. Ada oknum di BGN yang mengarahkan untuk membeli wadah ke sebuah perusahaan. Vendor juga kabarnya.
Maharnya lebih mahal ketimbang di marketplace. Kira-kira Rp70.000/buah. Dikalikan 3.000 porsi, modal untuk memborong wadah makan saja mencapai Rp210 juta.
Oh iya, tiap vendor SPPG diwajibkan setor uang jaminan minimal Rp500 juta. Sehingga, untuk menjadi vendor MBG ini, perlu modal jumbo. Ya, minimal Rp5 miliar hingga Rp6 miliar, bergantung daerah.
Minimnya pelibatan UMKM di program MBG terkonfirmasi dari pengakuan Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumandiri), Hermawati Setyorinny. “Belum ada yang terlibat karena persyaratanya terlalu berat dan butuh modal besar,” jelas Hermawati.
Dia menegaskan, jika pemerintah ingin menggandeng UMKM untuk terlibat dalam program ini, maka persyaratan untuk UMKM harus dipermudah.
Misalnya, kata Hermawati, persyaratan dapur yang cukup menggunakan sertifikasi Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT). Tak perlu lagi dapur khusus untuk menyediakan paket MBG.
“UMKM yang mendapatkan sertifikasi PIRT, sejatinya sudah layak dari standar kesehatan diakui pemerintah. Jika mengikuti standar BGN, UMKM perlu mengeluarkan tambahan biaya yang berat,” ungkap dia.
Pernyataan Hermawati tentu saja tidak mengada-ada. Sektor UMKM, koperasi atau petani sayur atau peternak ungas dan pengusahaber modal pas-pasan, pastilah sulit menjangkau syarat sebagai vendor yang ditetapkan MBG.
Nekat pinjam modal ke bank, tunggu dulu. Zaman sedang sulit, suku bunga kredit juga masih tinggi. Pengusaha UMKM memilih mundur sembari mengelus dada.
Namun, beda nasib dengan dua restoran milik PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), yakni Diamond dan Daegu Korean Grill yang ditunjuk sebagai vendor dapur MBG. Maklumlah, pemilik kedua restoran pastilah punya modal jumbo.
Modal Besar Selalu Menang
Ekonom UPN Veteran-Jakarta, Achmad Hidayat Nur menyoroti syarat berat UMKM untuk menjadi vendor Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau dapur MBG, yang ditetapkan Badan Gizi Nasional (BGN).
Misalnya, setiap SPPG ditetapkan mengolah 3.000 porsi makanan setiap hari, menurut Achmad Nur, bukan kelas UMKM.
“Saya kira UMKM enggak akan bisa menang karena konsep itu. Ujung-ujungnya, petani-petani kecil yang selevel UMKM, hanya bisa menjadi penonton saja. Hanya perusahaan atau restoran bermodal besar mampu menangani 3.000 porsi,” kata Achmad Nur diJakarta, Jumat (18/1).
Selain itu, dia menyoroti sistem sentralistik dari pelaksanaan program MBG, bakal menjadi masalah di kemudian hari. Bikin syarat yang sederhana dengan konsep desentralistik. Misalnya dengan melibatkan pihak sekolah, Kementerian Sosial dan BKKBN di daerah.
“Pakai pola dapur komunitas. Satu sekolah dibuat satu dapur, kapasitasnya 200-300 orang. Tidak sampai 3 ribu. Petugas masak, menu dan sebagainya dikontrol BGN. Saya kira, UMKM bisa masuk di skema itu. Sehingga multiplier efek dari program MBG terasa hingga ke pelaku ekonomi cilik,” jelasnya.
Dia pun menyoroti soal anggaran program MBG sebesar Rp71 triliun, atau hanya 25 persen dari total kebutuhan Rp460 triliun. Kekurangannya harus dipikirkan lewat inovasi, bukan cara mudah yang membebani rakyat.
“Misalnya dengan memanfaatkan sebagian CSR BUMN dan swasta. Saya kira boleh juga. Tapi semuanya perlu transparansi untuk menghindari kepentingan politik,” ungkapnya.
Syarat ketat yang diterapkan BGN, kata dia, tidak menjamin makanan yang disajikan tak ada masalah. Beberapa waktu lalu, puluhan siswa SD di Sukoharjo, Jawa Tengah, mengalami keracunan.
“Katanya menjunjung tinggi SOP terkait gizi, sampai meninggalkan penggunaan plastik, tapi malah terjadi keracunan. Saya kira BGN memang harus evaluasi. Tidak punya kemampuan sampai ke daerah. Sampai ke level terkecil di desa,” kata dia.
Memagari UMKM dari program MBG, jelas kebijakan yang salah. Apalagi, Presiden Prabowo mematok pertumbuhan ekonomi tinggi. Mustahil, ekonomi melompat tanpa sokongan UMKM yang kuat.
“Sejak awal persiapan, MBG selalu yang jadi masukan agar UMKM menjadi pemain utamanya, dan memang konteks geografis Indonesia cocok jika UMKM jadi pelaku MBG. Tanpa itu, jangan harap ekonomi nasional akan tumbuh tinggi,” kata Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira.
Untuk itu, kata Bhima, kemudahan persyaratan bagi UMKM untuk menjadi tulang punggung program, harus diwujudkan. Pelibatan pelaku bisnis kelas menengah, perlu lebih masif lagi.
Pemerintah bisa menetapkan klasifikasi UMKM dengan modal tertentu, sehingga mereka yang memiliki modal terbatas juga bisa merasakan ‘kue’ dari program utama pemerintahan Prabowo itu.
“Misalnya UMKM yang modal kurang dari Rp25 juta tetap bisa ikut jadi pemasok bahan baku. Tapi untuk melayani 3 sampai 5 sekolah saja, misalnya begitu,” papar Bhima.
Bhima menegaskan, berkah dari program MBG ini, harus bisa dirasakan seluruh lapisan masyarakat, termasuk pengusaha UMKM. Semuanya bergantung kepada desain pengadaan barang yang dilakukan BGN.
“Khawatir jika UMKM apalagi skala mikro dan ultra mikro, tidak terlibat maka efek berganda MBG sangat kecil,” jelasnya. (Ini).