Matanurani, Jakarta – Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof. Siti Zuhro menyoroti buruknya pelaksanaan demokrasi pada Pilkada 2024 di mana terdapat 41 daerah hanya memiliki satu pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah atau calon tunggal.
Itu pun, menurutnya, jika tidak ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang mengubah ambang batas (threshold) pencalonan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh partai politik atau gabungan maka dipastikan jumlah calon tunggal pada Pilkada Serentak 2024 akan melonjak tajam, tak hanya 41 daerah.
Siti Zuhro menilai hal tersebut menjadi ironi, bahkan anomali dalam demokrasi Indonesia yang multipartai sebab semua parpol justru bergabung dalam satu koalisi besar atau gemuk karena adanya kepentingan pragmatis yang sama.
“Itu bisa kita lihat pada Pilkada Jawa Timur dan Jakarta, sebagian besar parpol mengusung Ibu Khofifah dan Pak Ridwan Kamil,” ujar Siti Zuhro dikutip, Jumat (13/9).
Kalau yang memenuhi ambang batas, kata dia, bisa mencalonkan. Akan tetapi, kalau tidak bisa, akan melawan kotak kosong. Menurutnya, situasi ini merupakan dampak dari pelaksanaan Pemilu Serentak 2024, antara pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden (pilpres) serta berlanjut pada pilkada sekarang.
“Partai politik sedang kehilangan kedaulatannya dan kehilangan otonominya. Tidak percaya diri dalam mempromosikan kadernya. Mereka juga tidak merasa bersalah, malahan fine-fine saja,” kata Siti Zuhro, menekankan.
Padahal, lanjut dia, demokrasi Indonesia sedang dalam ancaman yang serius karena Pilkada 2024 tidak menghasilkan kompetisi dan calon yang layak. “Ada kecenderungan untuk aklamasi dan tidak memberikan edukasi kepada publik,” tegas Siti Zuhro.
Lebih jauh ia menambahkan, keberadaan sistem multipartai seperti sekarang perlu ditinjau ulang dan dilakukan penyederhanaan karena menjadi ancaman serius bagi pelaksanaan demokrasi di Indonesia.
“Kita harus mendorong perbaikan paket Undang-Undang (UU) Politik karena mungkin usianya sudah sangat tua, sementara sekarang banyak perubahan yang sifatnya sangat mendasar. Perlu diadopsi atau direspons parpol dan dipayungi undang-undang,” tuturnya.
Siti Zuhro menyebut paket UU Politik saat ini perlu dilakukan reformasi total agar demokrasi Indonesia lebih substantif, bukan demokrasi prosedural, melainkan dengan merevisi UU Parpol, UU MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD), UU Pemilu, dan UU Pilkada.
“Kita ini mau take off menjadi negara yang kokoh, Indonesia Emas 2045. Maka, harus dimulai sekarang agar kita tidak gagal sehingga perlu ada kompetisi. Akan tetapi, kompetisi sekarang ini kelihatan hambar,” tegas Siti Zuhro.
“Masa sih orang bernyawa harus disandingkan melawan kotak kosong yang tidak bernyawa. Ini pelecehan betul, menangnya tidak enak, kalah pun tidak enak. Ini yang harus kita benahi,” sambungnya, menegaskan kembali.
Sebagaimana diketahui, pada Pilkada 2024 terdapat 41 daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah atau calon tunggal, terdiri atas satu provinsi, 35 kabupaten, dan lima kota.
Dengan buruknya pelaksanaan Pilkada 2024, memunculkan gerakan coblos semua calon, khususnya di Pilgub Jakarta.
Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati menilai justru dengan adanya gerakan tersebut maka perlu dilakukan refleksi oleh penyelenggara pemilu dan juga parpol, bukan malah dipidana.
“Mereka hanyalah para aktivis yang kritis untuk menyampaikan ketika ada ketidakadilan di situ,” tutur Neni dikutip, Jumat (13/9).
Dia menekankan, gerakan ini seharusnya menjadi momentum bagi KPU untuk melakukan koreksi. “Mestinya (penyelenggara pemilu dan parpol) memang melakukan refleksi apa yang salah dengan kondisi politik yang ada saat ini,” tegasnya.
Ia mendorong penyelenggara pemilu baik KPU dan Bawaslu agar terus melakukan sosialisasi yang persuasif secara terstruktur, sistematis, dan masif.(Ini).