Matanurani, Jakarta – Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun depan berada pada kisaran 4,5% hingga 5,5%.
Hal itu terungkap saat Jokowi menyampaikan keterangan pemerintah atas RUU APBN Tahun Anggaran 2021 beserta Nota Keuangannya di ruang sidang MPR RI, Jakarta, Jumat (14/8).
Kalangan analis memiliki respons beragam terhadap proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun depan.
“Pemerintah mengambil asumsi pertumbuhan asumsi optimis dengan catatan tahun depan ekonomi masih bergantung pada belanja pemerintah. Kecepatan belanja pemerintah menjadi faktor penting tahun depan,” kata Kepala Ekonom PT Bank Central Asia (BCA) David Sumual kepada CNBC Indonesia.
Untuk itu, David mengatakan, pemerintah harus mengimplementasikan cash for work (padat karya) yang bisa menyerap lapangan kerja dan mengarahkan kredit ke sektor mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi.
Tahun depan, inflasi diperkirakan tetap terjaga di level 3%. Tujuannya adalah untuk mendukung daya beli masyarakat.
“Kami tidak ingin ekonomi kita mengalami pertumbuhan rendah dan inflasi rendah yang negara lain yang mengalami liquidity trap. Kami ingin inflasi yang tidak memberatkan daya beli tetapi juga jangan terlalu rendah,” kata David.
Ekonom senior Indef Aviliani menilai pemulihan ekonomi nasional membutuhkan waktu yang lama. Tidak hanya itu, tahun depan pun masih ada ketidakpastian global lantaran banyak negara belum mengalami gelombang kedua pandemi Covid-19.
Aviliani kemudian memberikan tips bagi pemerintah. Ia bilang kalau pemerintah harus berupaya mempertahankan perusahaan yang sudah ada saat ini agar jangan sampai tutup.
Selain itu, Avialiani mengatakan salah satu sektor yang bisa menjadi andalan adalah pariwisata yang bisa menghidupkan 10 sektor di bawahnya.
“Hal ini jadi fokus utama tahun depan dan satu lagi penguatan reformasi birokrasi. Tahun ini anggaran cukup banyak, tapi realisasi belum, dan ini menjadi PR tahun depan terutama setelah ada komite (Komite Penanganan Covid-19 dan PEN) fungsinya kan harus ada masukan percepatan,” ujar Aviliani.
Selain itu, kondisi belakangan juga menyebabkan kebutuhan masyarakat untuk makan, terutama yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), semakin bertambah.
Yang menjadi masalah ke depannya, menurut Aviliani, adalah data dalam penyaluran bantuan subsidi gaji bagi pekerja yang bergaji di bawah Rp 5 juta.
“Kalau mau data BPJS (BPJS Ketenagakerjaan/BPJAMSOSTEK), harus hati-hati karena seringkali perusahaan melaporkan kepada BPJS hanya gaji pokok. Jangan-jangan nanti ada yang lebih dari Rp 5 juta juga dapat,” kata Aviliani.
Permasalahan data, menurut dia, bisa diselesaikan dengan single identity number melalui e-KTP. Jika hal ini mau diselesaikan, persoalan data seharusnya tidak menjadi masalah. Sayangnya, menurut Aviliani, setiap kementerian memiliki data sendiri. Apalagi angka kemiskinan dari 15 juta, diperkirakan naik menjadi 4 juta orang hingga 6 juta orang yang kemungkinkan belum terdeteksi.
“Jadi kemungkinan mereka yang tidak mendapatkan tepat waktu data ini belum jelas, maka harus melibatkan pemda yang lebih tahu daerahnya. Harus ada anggaran pusat yang bisa didelegasikan ke daerah,” ujar Aviliani.(Cnb).