Home Ekonomi Bank Dunia Minta Indonesia Tak Istimewakan BUMN

Bank Dunia Minta Indonesia Tak Istimewakan BUMN

0
SHARE

Matanurani, Jakarta – Presiden World Bank Group (Bank Dunia) Jim Yong Kim meminta pemerintah Indonesia berhenti memberikan jalan emas atau keistimewaan bagi perusahaan-perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam pembangunan proyek infrastruktur. Sebaliknya, pemerintah diminta lebih banyak membuka peluang dan kesempatan untuk sektor swasta berpartisipasi.

“Insentif untuk BUMN dan swasta harus punya konsep yang sebangun sehingga tidak terjadi konflik kepentingan,” ujar Jim, dalam sambutannya di acara Indonesia Infrastructure Finance Forum, di Fairmont Hotel, Senayan, Jakarta, Selasa, (25/7).

Jim mengatakan dia memahami penghargaan atau keberhasilan BUMN diukur dari pendapatan yang diterima, sehingga mereka akan ikut menyasar proyek-proyek yang sama dengan swasta, karena menguntungkan. Namun hal itu, menurut dia akan membatasi partisipasi swasta. “Ini karena BUMN punya toleransi yang tinggi, kita bisa kurangi insentif untuk BUMN seperti jaminan murah, dana pinjaman pemerintah, dan lain-lain,” katanyan

Jim menuturkan suatu hal yang baik jika pemerintah menginginkan BUMN yang kuat dan berhasil, namun menurut dia harus melalui kompetisi yang sama dengan pihak swasta. Hal ini kata dia juga dapat berdampak baik pada penggunaan anggaran yang efisien dan efektif.

Proyek-proyek seperti logistik, kargo, dan jalan tol merupakan contoh bidang yang diminati oleh swasta, sehingga dukungan dan keterlibatannya harus didorong lebih besar. “Indonesia pembangunannya besar, maka sebaiknya swasta banyak terlibat, BUMN tidak didorong untuk bersaing langsung dengan swasta,” ucapnya.

Jim berujar BUMN bisa bersinergi melalui skema kemitraan sebagian, joint venture, dan sekuritisasi dengan pihak swasta. Pemerintah Indonesia pun diminta untuk mengenali lebih dalam karakteristik dan risiko sektor swasta.

“Bank Dunia akan kurang tertarik investasi di poryek yang hanya BUMN, kecuali ada swasta juga yang pegang kendali.” Dia mengatakan terdapat sejumlah kelebihan dalam kerja sama pemerintah dan swasta, di antaranya adalah jaminan proyek selesai tepat waktu.

Jim menekankan dalam setiap pembangunan infrastruktur harus ada dialog yang menguntungkan dengan pasar dan upaya meningkatkan suasana yang kondusif untuk invstasi.

Dia menambahkan pihaknya juga telah mengidentifikasi sejumlah peraturan dan perundangan Indonesia tentang public private partnership (PPP) yang masih tidak konsisten satu sama lain, sehingga dinilai kurang menguntungkan swasta untuk terlibat.

“Harus ada upaya pengurangan hambatan untuk swasta, peraturan perundangan lebih menguntungkan BUMN, mereka bisa langsung dapat pengoperasian proyek,” ujarnya. Jim mengatakan sebaiknya terdapat mekanisme kompetisi yang sehat khususnya dalam pembangunan proyek infrastruktur.

Tak hanya itu, pasar modal Indonesia menurut Jim harus didorong untuk mendukung pendanaan jangka panjang. Terlebih, hampir seluruh pembangunan infrastruktur Indonesia menggunakan mata uang rupiah.

Jim mengatakan World Bank sangat mendukung reformasi dan ketersediaan dana infrastruktur di pasar modal. “Semua perubahan ini tidak mudah, butuh kepemimpinan dan butuh jangka waktu yang panjang,” ucapnya. Dia meyakini Indonesia akan berhasil menerapkannya, seperti negara-negara lain yang lebih dulu melakukannya.

Jika sektor swasta sudah bisa dan mau terlibat, maka kerja sama pembangunan infrastruktur akan lebih luas. “Akan ada keterlibatan lebih banyak lagi, karena mereka akan undang mitra mereka.”

Peluang investasi sektor swasta ini  kata Jim harus segera dimulai, untuk menjadikan Indonesia tujuan dari investasi infrastruktur. “Ada dana triliunan dolar yang masih menunggu dan kami siap untuk mendukung pendanaan infrastruktur Indonesia.”

Jim melanjutkan dalam lima tahun ke depan Indonesia membutuhkan dana hingga US$ 500 miliar untuk mengurangi kesenjangan infrastruktur. Dan anggaran pemerintah tidak cukup untuk membiayainya,  di antaranya karena pungutan pajak yang belum maksimal.

“Dan ada batasan defisit 3 persen, inilah isu sensitif di sini.” Pemungutan pajak di Indonesia berdasarkan data Bank Dunia juga masih lebih rendah 13,6 persen dari Kamboja. Sehingga, rasio kepatuhan pajak juga harus ditingkatkan. “Saya mendukung reformasi pajak di sini, e-filling, hingga data dari pihak ketiga yang bisa menaikkan rasio pajak,” katanya. (Tem).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here