Oleh: Dr Benny Pasaribu
PEMANFAATAN sektor usaha kehutanan dari hulu hingga ke hilir, bila dikelola secara tepat, maka akan dapat menempatkan sektor kehutanan sebagai sektor unggulan strategis yang mampu memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional.
Seperti diketahui luas kawasan hutan saat kini mencapai 126.08 juta hektar, dan 55% atau 68.99 juta hektarnya dimanfaatkan sebagai hutan produksi, sedangkan 27,42 juta hektar atau 22% dimanfaatkan sebagai hutan konservasi dan 29, 67 juta hektar dimanfaatkan sebagai hutan lindung.
Dari total 68.99 juta hektar hutan produksi itu, 29.25 juta hektar dimanfaatkan sebagai hutan produksi tetap (HP), 26.80 juta hektar hutan produksi terbatas, dan 12.94 juta hektar hutan produksi yang dapat dikonversi.
Dari kawasan hutan produksi atau alam tersebut, (hulu), khususnya kayu semuanya diarahkan ke (hilir) untuk dimanfaatkan sebagai sumber bahan baku (round logs) industri plywood, kayu gergajian (sawn timber), particle board, pulp dan kayu serpih.
Sedangkan dari kawasan hutan lindung dan hutan wisata atau hasil hutan bukan kayu (hulu), dimanfaatkan sebagai bahan obat-obatan/ kosmetik, pangan seperti sagu dan coklat, bio energi (aren), pakan ternak, hingga eko wisata (hilir).
Secara garis besar pemanfaatan hasil hutan diatas tentunya sangat strategis untuk mendukung industri kayu dan bukan kayu di Indonesia khususnya pada hutan produksi ke depan.
Namun disisi lain, tantangan yang dihadapi sektor kehutanan masih mendera, mulai dari ketidakpastian status areal dalam pemanfaatan hutan produksi, pemanfaatan hutan produksi yang masih belum optimal, hingga integrasi hulu-hilir yang masih lemah
Karenanya, sektor kehutanan perlu didorong untuk menjadi sektor unggulan strategis melalui industrialisasi sebagai masa depan industri kehutanan Indonesia
Misalnya, meningkatkan dan memanfaatkan ketersediaan bahan baku terutama dari hutan tanaman serta dari sumber lain yang berkelanjutan untuk menghidupi industri itu sendiri. Merevitalisasi dan merestrukturisasi industri perkayuan agar kompetitif. Mengembangkan produk-produk yang bernilai tambah tinggi agar memiliki daya saing.
Memang tantangan terbesar ke depan adalah terutama di sektor hulu dan industri. Bagaimanapun industrialisasi Indonesia membutuhkan kontinuitas bahan baku dari hasil bumi sendiri.
Industrialisasi artinya hilirisasi untuk menghasilkan nilai tambah di dalam negeri. Daya saing hasil industri ke depan hanya dapat ditingkatkan melalui industrialisasi yang terintegrasi dari hulu ke hilir.
Industri dasar dapat dikembangkan melalui clusterisasi (dekat dengan bahan baku) dan industri hilir di fokuskan di dalam kawasan industri atau Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang dekat dengan pelabuhan atau bandara.
Untuk itu infrastruktur industri yang dibutuhkan ke depan adalah pembangunan jalan dan jembatan dari lokasi cluster ke kawasan, sehingga bea logistik dan dweling time diturunkan secara signifikan.
Selain itu kebijakan impor setidaknya dibatasi agar proses industrialisasi terintegrasi dari hulu ke hilir bisa terlaksana dengan memberikan insentif kepada para petani di hulu dan menghidupkan industri dasar di cluster.
Disamping itu peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) industri vokasi perlu di dorong agar pelaku usaha di hulu yang relatif rendah pendidikannya dapat ditingkatkan ketrampilannya dan produktifitasnya.
Demikian juga ketersediaan teknologi tepat guna di hulu dan industri dasar perlu dikembangkan berbasis kearifan lokal bekerjasama dengan Litbang (penelitian pengembangan), BPPT ( Badan Pengembamgan dan Penelitian Teknologi), dan Perguruan Tinggi.
Dengan demikian industrialisasi ke depan harus memberikan nilai tambah kepada pelaku ekonomi/ petani di hulu.
(Penulis adalah Anggota Komite Ekonomi dan Industri Nasional