Oleh: Benny Pasaribu, Ph.D
HASIL laporan World Economic Forum (WEF) pada awal tahun 2017 lalu, disebutkan bahwa Indonesia memiliki prospek menjadi negara terbesar kelima di dunia pada tahun 2030 dan keempat dunia tahun 2050. Sejalan dengan itu, perusahaan konsultan keuangan internasional Price Waterhouse Coopers (PWC) pun juga merilis hasil kajiannya dengan angka-angka menakjubkan, yang mendukung prediksinya bahwa Indonesia akan menjadi negara terbesar kelima di dunia pada tahun 2030.
Adapun laporan tersebut merujuk pada besaran Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang relatif terhadap negara-negara lain. Seperti diketahui tiga negara yang selalu masuk dalam kategori PDB terbesar adalah China, India, dan Amerika Serikat. Sementara Jepang dan Indonesia akan bersaing di urutan keempat pada tahun 2030.
Banyak pengamat tercengang dan meragukan kebenaran angka-angka yang mendukung kesimpulan dalam laporan tersebut. Bahkan, sebagian para teknokrat dan ekonom pemerintah merasa ragu dan tidak berkeyakinan bahwa Indonesia bisa atau mampu menjadi negara terbesar keempat dunia pada tahun 2050, terutama karena masih banyaknya permasalahan internal dan tantangan eksternal dalam perekonomian nasional.
Namun, tentunya Laporan tersebut dapat diterima akal sehat. Karena Indonesia memang memiliki potensi sangat besar untuk menjadi negara terbesar keempat dunia di lihat dari sisi besaran PDB pada tahun 2050. Bahkan, Indonesia bisa lebih cepat menjadi negara terbesar keempat di dunia, yakni pada tahun 2045, saat usia 100 tahun Indonesia merdeka.
Memang benar bahwa Indonesia masih menghadapi permasalahan akut sampai saat ini, termasuk di antaranya masalah kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan ekonomi yang masih cukup tinggi; kemudahan berinvestasi masih jauh dari kompetitif; ketersediaan infrastruktur dan energi masih sangat terbatas; dan prioritas industrialisasi masih belum dipilih secara sistematik dan terkoordinasi.
Namun kita tidak cukup alasan menjadi pesimis karena permasalahan dan tantangan yang ada. Kita hanya perlu lebih jujur di iringi dengan rasa optimisme melihat berbagai perubahan signifikan sejak awal pemerintahan Presiden Jokowi. Perubahan paradigma pembangunan mulai terasa, dari ekonomi yang lebih auto pilot menjadi lebih terarah untuk mencapai kemakmuran yang berkeadilan. Kita sedang menyaksikan semaraknya pembangunan infrastruktur yang menyebar mulai dari Aceh hingga Papua, di pusat kota hingga di daerah perbatasan, pembangunan listrik, dan pembangunan waduk/ embung mengairi pertanian. Pembangunan jalan, jembatan, irigasi, dan sebagainya. Juga terjadi lebih gencar di daerah pedesaan.
Memang kita harus mengakui bahwa masih banyak masalah yang belum berhasil ditangani secara signifikan, seperti masalah kesenjangan dan perijinan/ birokrasi, pembinaan dunia usaha termasuk BUMN dan Koperasi yang masih jauh dari peran yang diharapkan.
Oleh karena itu setidaknya ada lima alasan optimisme agar Indonesia bisa berhasil, yakni :
1 Potensi Sumber daya Alam Indonesia sangat beragam dan berlimpah. Dengan iklim yang tropikal, Indonesia memiliki potensi besar di sektor Pertanian, Perikanan, Kelautan, Kehutanan, dan di sektor Sumber daya Energi dan Mineral. Demikian juga potensi ekonomi di dasar dan bawah laut dan di udara yang sangat melimpah dan beragam. Apabila semuanya dikelola secara maksimal, ekspor dalam bentuk bahan mentah (atau bentuk komoditas primer) semakin dikurangi, dan proses industrialisasi (atau hilirisasi) dengan nilai tambah yang lebih tinggi, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia akan jauh lebih tinggi, bahkan bisa mencapai di atas 10% per tahun.
2 Potensi Sumberdaya Manusia Indonesia juga cukup berlimpah dan beragam kualitasnya. Sebanyak 67 % memiliki pendidikan SD-SMP dengan rata-rata lamanya pendidikan 5 tahun. Melalui pendidikan vokasi dan enterpreneurship yang lebih intensif dan penyediaan kesempatan usaha yang lebih luas, saya yakin produktivitas penduduk Indonesia akan meningkat signifikan. Apabila kesempatan usaha didorong melalui pembangunan inklusif, melibatkan warga yang kelas menengah ke bawah, maka pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan bisa dinikmati secara bersama-sama.
3 Potensi indutrialisasi cukup besar karena kita memiliki bahan baku dan sumberdaya manusia yang melimpah. Jika selama ini kita lebih banyak mengekspor bahan mentah dalam bentuk komoditas primer atau hasil olahan seadanya, maka ke depan kita harus fokus pada peningkatan nilai tambah melalui hilirisasi. Jika selama ini kita mengirim TKI/ TKW tanpa keahlian profesional maka ke depan kita perlu melakukan pelatihan keterampilan profesional dan menyediakan pekerjaan di dalam negeri. Kita tidak mungkin bisa mencapai negara makmur berkeadilan (baca: UUD 1945 pasal 27, 31, 33, dan 34), apalagi bersaing secara global jika kita fokus pada sektor ekonomi yang hanya melibatkan warga yang berpendidikan tinggi (high-skilled labour) dan teknologi tinggi (high tech).
Karena itu, keadilan dan kemakmuran akan hadir bersama-sama jika kita lebih fokus pada pembangunan industri (hilirisasi untuk nilai tambah tinggi) dengan menggunakan bahan baku yang diproduksi oleh rakyat banyak. Itulah sebabnya pasal 33 UUD 1945 ayat 2 menyebutkan bahwa “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai negara”, dan ayat 3 menyebutkan bahwa “bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Dan, Indonesia akan lebih cepat menjadi negara industri maju terbesar keempat dunia jika kita mampu mengembangkan 4 (empat) sektor sebagai industri prioritas (lokomotif dan motor penggerak ekonomi), yakni (1) Industri Manufaktur Pertanian dan Kehutanan, (2) Industri Manufaktur Perikanan dan Maritim, (3) Industri Pariwisata (termasuk industri berbasis budaya), dan (4) Industri Kreatif.
4 Potensi dunia usaha nasional juga cukup tinggi dalam mengelola industri dan pasar (domestik dan global). Kita perlu mengingatkan diri kita kembali bahwa UUD 1945, pasal 33 ayat 1 memberi pesan bahwa “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan”. Berbeda dengan negara kapitalis, perekonomian Indonesia harus dikelola bersama antara pemerintah dan dunia usaha.
Koperasi, BUMN, dan Swasta perlu didorong untuk bekerjasama (bukan bersaing secara bebas) sesuai dengan keunggulan komparatif masing-masing. Efek sinergis dari kerjasama tersebut haruslah untuk mencapai kemakmuran yang berkeadilan. Tidak mungkin kita bisa lebih cepat makmur dan berkeadilan jika yang dikembangkan hanya usaha BUMN dan atau Swasta, atau meniadakan/ meninggalkan salah satu pelaku usaha. Masing-masing harus mampu menjadi lebih efisien dan ketiganya dapat saling melengkapi.
Di dalam kerjasama tersebut, persaingan antarpelaku usaha harus tetap didorong dan terpelihara berdasarkan prinsip persaingan sehat dan adil, bukan persaingan yang saling mematikan. Setiap campur tangan negara harus dilakukan secara hati-hati agar selalu memberikan efek positif bagi peningkatan kesejahteraan rakyat, bukan distortif terhadap pasar. Untuk itu, segala hambatan (barriers) yang mengakibatkan biaya tinggi dalam berinvestasi dan mengembangkan usaha harus dihilangkan. Selanjutnya, perilaku yang diskriminatif, kartel, penyalahgunaan kekuatan pasar (abuse of market power), dan persaingan tidak sehat harus dilarang untuk menyediakan ruang dan kesempatan yang lebih luas bagi UMKM dan konsumen berperan secara maksimal dalam perekonomian. Kata kuncinya adalah coopetition (cooperation and competition). Dan negara masih perlu lebih berpihak terhadap UMKM dan Koperasi.
5 Potensi pembiayaan industrialisasi juga cukup besar terutama dengan mempermudah investasi langsung asing (foreign direct investment) terutama di dalam kawasan industri, mendorong konsorsium pembiayan perbankan dan non bank nasional ditambah pinjaman luar negeri, mendorong BI menambah suplai uang beredar, dan sebagainya.
Dalam upaya mencapai negara industri maju terbesar keempat dunia pada tahun 2045 (100 tahun merdeka), Indonesia harus mampu tumbuh lebih cepat dari 5%, setidaknya 7% per tahun, yang didukung oleh peningkatan produksi dan produktivitas pada 4 (empat) industri prioritas hingga mencapai 20% per tahun.
Pertumbuhan yang demikian tinggi dan berkualitas melalui industrialisasi akan mampu mengatasi kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan sosial. Pertumbuhan yang didasarkan pada program peningkatan konsumsi privat dan pengeluaran pemerintah akan menimbulkan persoalan baru karena sangat berpotensi mengganggu stabilitas makro, seperti peningkatan utang, inflasi, depresiasi kurs, suku bunga, defisit perdagangan, defisit fiskal, dan defisit transaksi berjalan.
Meningkatkan konsumsi adalah identik dengan menghabiskan tabungan, sedangkan menaikkan sisi pengeluaran pemerintah akan mendorong defisit anggaran dan utang negara. Semua itu akan menghambat kemampuan investasi domestik jangka panjang dan menurunkan kapasitas produksi nasional.
Sekali lagi, Indonesia perlu fokus pada pembangunan industri dengan prioritas pada 4 (empat) sektor : pertanian dan kehutanan, perikanan dan maritim, pariwisata dan budaya, dan ekonomi kreatif. Industrialisasi akan menghasilkan nilai tambah terhadap produk primer domestik. Pendidikan vokasi akan meningkatkan keterampilan dan profesionalisme pekerja dan enterpreneur Indonesia. Melalui industrialisasi dimaksud, Indonesia akan lebih cepat mencapai kemakmuran yang berkeadilan.
Tentu saja kebijakan ekonomi harus diikuti dengan upaya memelihara stabilitas politik dan penegakan hukum yang tegas dan berkeadilan. Semuanya itu menjadi ikhtiar bersama, mimpi kita semua, untuk mendorong terwujudnya negara Indonesia yang maju, berdaulat, mandiri, dan bermartabat sesuai dengan cita-cita luhur yang telah digariskan di dalam Pancasila dan UUD 1945. Indonesia harus bisa menjadi Rumah Kita bersama.