Matanurani, Jakarta – Dosen Ekonomi Universitas Trilogi Jakarta yang juga Anggota Komite Ekonomi dan Industri (KEIN) 2019, Benny Pasaribu menyarankan
agar pemerintah perlu menyederhanakan sistem pajak dengan menggabungkan PPN (pajak pertambahan nilai) dan PPn (pajak Penjualan).
Disamping itu lanjut Benny ada 2 isu lain yang penting diperhatikan, terkait penyederhanaan pajak diantaranya persoalan kategori Objek dan Bukan Objek Pajak. Karena selama ini ada sejumlah produk tidak masuk objek Pajak, seperti sembako, jasa pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.
“Jika pemerintah ingin merubahnya menjadi Objek Pajak sebetulnya tidak masalah sepanjang momentumnya tepat karena menyangkut hajat hidup orang banyak dan suasana bathin masyarakat yang sedang tertekan karena Pandemi Covid 19. Jadi carilah timing yang tepat,” kata Benny di Jakarta, Selasa (22/6).
Kedua, soal tarif PPN Benny menyatakan. memang banyak negara-negara di dunia memberlakukan tarif di atas 10%. Namun, Amerika dan Kanada, yang notabene sangat kapitalistik liberal, menetapkan tarifnya antara 5-17% atau tergantung negara bagiannya, dengan istilah pajak penjualan (PPn) atau disebut GST (Goods and Services Tax), tidak ada lagi PPN. Namun bahan sembako tidak dikenakan GST.
“Artinya negara perlu melanjutkan reformasi pajak dengan maksud agar lebih berkeadilan, mengurangi kesenjangan ekonomi seperti negara Kanada, Denmark, Norwegia, Swedia, dan sebagainya,” ungkap Benny.
Benny melanjutkan , mereka pada umumnya menetapkan tarif PPh (Pajak Penghasilan) yang sangat progresif, tarif PPh orang atau badan akan jauh lebih tinggi bahkan sampai 55% jika penghasilannya cukup besar. Sedangkan di Indonesia, PPh tertinggi hanya sampai 30% untuk penghasilan perorangan di atas Rp 500 juta per tahun.
“Bagaimana dengan penghasilan di atas Rp 5 milyar, Rp 10 milyar bahkan di atas Rp 50 milyar setahun, tentu tetap saja membayar hanya 30% sama dengan orang yang penghasilannya Rp 500 juta. Tarif seperti ini tentu kurang berkeadilan,” pungkas Benny.