Oleh : Muhammad Nalar Al Khair, Peeliti Pangan dan UMKM
SEBENTAR lagi, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka akan dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia untuk periode 2024 – 2029.Bersamaan dengan momentum ini, ambisi mencapai pertumbuhan ekonomi 8% kembali digaungkan sebagai solusi untuk membawa Indonesia menuju kemajuan dan kesejahteraan. Namun, meskipun angka 8% ini terdengar menjanjikan, tantangan untuk mencapainya tidaklah mudah.
Pertumbuhan ekonomi sebesar 8% memang penting untuk mendorong Indonesia menjadi negara maju. Namun, sejarah menunjukkan bahwa target pertumbuhan tinggi sering kali hanya menjadi retorika, tanpa diikuti rencana konkret yang realistis. Oleh karena itu, pemerintah harus menyusun langkah-langkah yang matang dan dapat dijalankan secara efektif agar ambisi ini tidak hanya sekadar wacana.
Syarat utama untuk mencapai pertumbuhan tinggi adalah menciptakan ekspektasi positif dari publik. Ketika masyarakat memiliki keyakinan terhadap arah kebijakan pemerintah, pelaku ekonomi akan lebih termotivasi untuk berkontribusi mendorong perekonomian. Di sisi lain, pemerintah juga harus memastikan kebijakannya bersifat ekspansif dan efektif, sehingga output ekonomi dapat meningkat secara agregat.
Masalahnya, kondisi sosial-politik belakangan ini menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sudah amat melemah. Tengok saja yang terjadi pada 22 Agustus 2024, ketika ada demonstrasi besar-besaran menolak revisi Undang-Undang Pilkada.
Gelombang protes ini merupakan akumulasi dari berbagai kekecewaan publik terhadap pemerintah, mulai dari penyalahgunaan UU ITE hingga dugaan intervensi dalam putusan Mahkamah Konstitusi. Krisis kepercayaan ini menjadi hambatan besar bagi upaya pemerintah dalam meraih target pertumbuhan ekonomi yang ambisius.
Nah, untuk memulihkan kepercayaan publik, pemerintah harus mengedepankan penegakan hukum yang adil dan transparan. Tanpa kepastian hukum yang jelas dan kredibilitas lembaga negara yang terjaga, akan sulit bagi pemerintah untuk menarik minat investor, terutama asing.
Stabilitas politik dan transparansi pemerintahan juga menjadi pertimbangan utama bagi para investor dalam memutuskan untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Seperti yang dikemukakan oleh para ekonom seperti Keynes dan Harrod-Domar, investasi merupakan salah satu komponen penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Data menunjukkan bahwa investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) sempat tumbuh pesat hingga 44% pada tahun 2022, tetapi angka ini menurun drastis menjadi hanya 13% pada tahun 2023. Penurunan ini menjadi alarm yang harus segera direspons oleh pemerintah. Tanpa perbaikan cepat dalam memberikan kepastian hukum dan menjaga integritas lembaga negara, investor akan semakin enggan untuk berinvestasi di Indonesia, dan target pertumbuhan ekonomi 8% hanya akan menjadi ilusi belaka.
Tantangan besar lain yang dihadapi Indonesia dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan adalah ketergantungan pada impor pangan. Meski Indonesia memiliki lahan pertanian yang subur, ironisnya, negara ini masih mengimpor sejumlah besar komoditas pangan. Pada tahun 2023, Indonesia mengimpor 3 juta ton beras, 2,3 juta ton kedelai, dan 5 juta ton gula. Ketergantungan ini tidak hanya menekan perekonomian dalam negeri, tetapi juga menunjukkan lemahnya kebijakan pertanian dan ketahanan pangan. Jika kebutuhan dasar pangan saja masih bergantung pada negara lain, sulit untuk membicarakan pertumbuhan ekonomi yang kuat.
Pertumbuhan Berkualitas dan Inklusif
Pada awal pemerintahannya, Presiden Joko Widodo juga menargetkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, yakni 7%. Namun, kenyataannya, target tersebut tak pernah tercapai. Bahkan untuk menyentuh angka 6% pun sulit.
Hal ini menunjukkan bahwa target ambisius tanpa rencana yang jelas dan terukur tidak akan cukup untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang diinginkan. Publik tidak bisa hanya diberi janji berupa angka, tetapi harus diyakinkan dengan strategi konkret yang bisa diterapkan.
Sejak reformasi, Indonesia belum pernah mencapai pertumbuhan ekonomi 7%, apalagi 8%. Oleh karena itu, ketika janji politik mengenai pertumbuhan ekonomi 8% kembali dilontarkan, masyarakat wajar jika bertanya: seberapa realistiskah janji ini? Apakah pemerintah memiliki strategi yang matang untuk mencapainya? Apakah ada pemahaman yang mendalam tentang tantangan yang dihadapi?
Presiden terpilih Prabowo Subianto seharusnya tidak hanya fokus pada pencapaian angka 8%, melainkan juga pada kualitas pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Pertumbuhan yang berkualitas berarti pertumbuhan yang inklusif dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara merata. Selama ini, pertumbuhan ekonomi yang terjadi lebih sering dinikmati oleh segelintir kelompok elit, sementara masyarakat luas hanya mendapatkan sedikit manfaat dari hasil pertumbuhan tersebut.
Fakta ketimpangan ekonomi di Indonesia terlihat jelas dari peningkatan Material Power Index (MPI) pada tahun 2023, yang mencapai 12 juta kali lipat dari PDB per kapita masyarakat. Pada tahun 2014, angka ini hanya berada di kisaran 674 ribu. Ini menunjukkan bahwa kekayaan yang dihasilkan oleh pertumbuhan ekonomi sebagian besar dinikmati oleh segelintir orang kaya, sementara masyarakat umum tetap tertinggal jauh.
Ketimpangan ini berpotensi memicu gejolak sosial. Pengalaman negara lain, seperti Chili dan Sri Lanka, menunjukkan bahwa ketimpangan ekonomi yang akut dapat memicu demonstrasi besar-besaran dan bahkan krisis politik. Indonesia tidak kebal dari ancaman serupa jika masalah ketimpangan ini tidak segera diatasi.
Makanya, alih-alih hanya fokus pada angka 8%, prioritas pemerintah seharusnya adalah melakukan reformasi struktural yang memungkinkan redistribusi kekayaan lebih merata. Prabowo Subianto dan timnya perlu merancang pertumbuhan ekonomi yang tidak hanya menguntungkan segelintir elit, tetapi juga membawa manfaat nyata bagi masyarakat luas. Jika pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh konglomerat, stabilitas sosial dan politik Indonesia akan terus berada dalam ancaman.
Kesimpulannya, meskipun target pertumbuhan ekonomi 8% tampak ambisius, realisasi target ini bergantung pada upaya nyata pemerintah dalam membangun kepercayaan publik, menciptakan kepastian hukum, menarik investasi, serta melakukan reformasi struktural yang diperlukan. Hanya dengan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkualitas, Indonesia dapat mencapai kemajuan yang sejati dan meningkatkan kesejahteraan rakyat secara merata.