Oleh: Suroto
KEPUTUSAN pemberlakuan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen akan segera diberlakukan mulai bulan Januari 2025. Kenaikan prosentase yang cukup signifikan, karena PPN ini langsung ditambahkan dari penjualan barang/jasa.
Kenaikan PPN ini tentu akan menjadi tambahan beban signifikan bagi masyarakat. Padahal masyarakat terutama kelas menengah ke bawah itu sedang dalam situasi jatuh daya belinya.
Bayangkan, jika sebuah perusahaan beromzet Rp10 miliar setahun maka akan terkena tambahan pajak Rp100 juta. Angka yang sangat besar. Bahkan dalam situasi normal, keuntungan bersih setelah dikurangi biaya lain-lain yang didapat pengusaha skala omzet Rp10 miliar itu selama ini belum tentu sampai Rp100 juta.
Pajak PPN ini memang dibebankan kepada konsumen. Namun pengusaha yang harus memungut. Pengusaha bisa saja menaikan harga. Tapi masalahnya daya beli konsumen kelas menengah ke bawah itu sedang melemah. Otomatis akan langsung berpengaruh terhadap penjualan.
Untuk pengusaha skala konglomerat yang selama hasilkan produk yang monopoli pasar tentu tidak masalah. Sebab para pengusaha besar itu sudah biasa melakukan pengalihan beban (transfer cost) itu kepada masyarakat yang dalam posisi lemah.
Sebut saja misalnya untuk pabrik rokok. Mereka bisa alihkan beban itu agar tidak mempengaruhi penjualan mereka dengan menekan biaya ke petani tembakau atau petani cengkeh. Margin keuntungan bagi petani yang ditekan. Hal ini sudah biasa dilakukan ketika biaya cukai tembakau dinaikkan.
Beban tersebut juga bisa dialihkan ke jalur distribusi barang kelas usaha pedagang kecil. Mereka, para pengusaha konglomerat pemilik produk atau prinsipal akan menekan dengan pemberian margin keuntungan lebih kecil ke para pengusaha pengecer.
Padahal selama ini, terutama pengusaha ritel skala kecil itu batasan keuntungannya (margin keuntungannya) itu sudah ditekan sedemikian rupa oleh pengusaha-pengusaha skala besar. Mereka sama sekali tidak memiliki posisi tawar karena produk mereka memang sudah monopolistik.
Pada intinya, kenaikan PPN yang signifikan ini tentu akan langsung dirasakan oleh pedagang kecil, petani dan nelayan kecil. Sebab mereka tidak memiliki posisi tawar yang memadai di hadapan pengusaha konglomerat yang produk produknya sudah monopolistik. Mereka akan lakukan transfer cost pengalihan beban ke pelaku usaha kecil.
Kebijakan kenaikan PPN itu akan otomatis jadi pengurangan tingkat profitabilitas bagi pengusaha skala kecil. Akhirnya daya saing dan kapasitasnya akan menurun dan ini artinya akan meningkatkan proses monopoli usaha besar dengan kekuatan modalnya semakin konsentratif.
Salah satu tujuan penting dari pajak adalah untuk menciptakan keadilan. Juga agar terjadinya keseimbangan yang fair dari posisi tawar antar pengusaha. Kebijakan kenaikan PPN ini otomatis menjadi disinsentif atau kerugian bagi usaha kecil yang lemah dan membuat mereka semakin lemah.
Sesuatu yang tidak fair lainya adalah, usaha-usaha besar itu dengan kemampuan lobinya, mereka banyak menikmati fasilitas kebijakan dan proyek dari pemerintah. Sesuatu yang tidak dimiliki usaha kecil. Sebut saja seperti tax holiday, tax free dan banyak kebijakan trade off lainnya dan juga kemampuan akses terhadap sumber sumber keuangan murah yang disubsidikan pemerintah. Sebut saja misalnya subsidi bunga untuk bankir, dana penempatan, modal penyertaan, dana talangan ketika hadapi krisis dan lain sebagainya. Sesuatu yang tidak dimiliki para pengusaha kecil.
Sementara itu, jika diperbandingkan dengan negara tetangga kita Singapura saja misalnya, negara yang tak memiliki sumber pendapatan dari sumber daya alam tarif PPN-nya hanya 7 persen. Malaysia hanya 8-10 persen, Brunei nol persen.
Seharusnya karena sumber pendapatan negara kita dari sumber daya alam lebih banyak dibandingkan Singapura maka tarifnya mestinya lebih murah. Bukan justru menjadi lebih besar.
Pajak adalah memang memaksa sifatnya. Tapi membuat kebijakan pajak yang justru membebani masyarakat kecil demi penuhi kenikmatan para pengusaha besar dalam alokasi atau penggunaan pajak itu adalah jelas melanggar hak moral kita sebagai warga dari negara yang menganut sistem demokrasi. Kecuali kita gunakan sistem fasisme yang abaikan suara warga.
Penulis adalah Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)