Home Opini Jokowi Penakut

Jokowi Penakut

0
SHARE

 

Oleh: Sugiyanto

POLEMIK keaslian ijazah Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) Presiden ke-7 RI Joko Widodo alias Jokowi sudah sangat melelahkan.

Namun hingga kini, satu pertanyaan mendasar masih menggantung di benak publik adalah: Mengapa Jokowi tak pernah berani tampil untuk menjelaskan secara terbuka soal keaslian ijazahnya. Mengapa justru UGM dan Bareskrim Polri yang bicara.

Kasus ijazah Jokowi diketahui mencuat sejak tahun 2019. Ketika warganet Umar Kholid Harahap mengangkat dugaan pemalsuan ijazah. Kemudian Bambang Tri Mulyono membawa kasus ini ke ranah hukum pada 2022 dan dilanjutkan oleh Eggi Sudjana pada 2024.

Kendati telah dibantah UGM dan diklarifikasi oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri pada April 2025, keraguan di tengah masyarakat tetap belum padam.Bareskrim Polri secara resmi memastikan bahwa ijazah Jokowi adalah asli.

Kepastian ini disampaikan setelah dilakukan serangkaian penyelidikan menyeluruh dan uji forensik atas laporan dugaan penggunaan ijazah palsu yang dilayangkan oleh Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA).

Penyelidikan mencakup verifikasi ijazah Jokowi mulai dari jenjang Sekolah Dasar hingga perguruan tinggi di Universitas Gadjah Mada (UGM).

Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim, Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro menjelaskan bahwa ijazah Jokowi telah dibandingkan langsung dengan ijazah milik tiga rekan seangkatannya di Fakultas Kehutanan UGM.

Hasilnya menunjukkan bahwa seluruh elemen — termasuk map, tinta, jenis kertas, teknik cetak, tanda tangan, dan stemple — terbukti identik dan berasal dari satu produk yang sama.

Namun faktanya, karena seluruh klarifikasi disampaikan oleh pihak ketiga, publik justru merasa ada sesuatu yang belum tuntas.

Klarifikasi dari UGM dan Bareskrim bersifat administratif dan legalistik. Sementara itu, dimensi etis dan moral dari tuduhan yang dialamatkan kepada Jokowi tidak pernah direspons secara langsung dan personal oleh yang bersangkutan.

Di sinilah letak perbedaan mendasar dengan cara Presiden AS Barack Obama merespons isu sensitif terkait keabsahan akta kelahirannya di Amerika Serikat.

Ketika Obama dituduh bukan warga negara AS dan dianggap tidak layak menjabat sebagai Presiden, ia tidak bersembunyi di balik institusi. Sebaliknya, ia tampil langsung dan memberikan penjelasan secara terbuka.

Obama yang semasa kecilnya pernah tinggal selama empat tahun di Jakarta, Indonesia, justru tampil langsung dalam konferensi pers dan menunjukkan salinan lengkap akta kelahirannya yang diterbitkan oleh negara bagian Hawaii.

Obama tidak hanya membuka kronologinya secara terbuka, tetapi juga menyindir tuduhan tersebut dengan elegan sebagai gangguan terhadap urusan-urusan besar kenegaraan.

Itulah teladan dari Barack Obama: seorang pemimpin yang memilih menjawab langsung dan tuntas, bukan sekadar lewat klarifikasi yang bersifat legal-formal.

Dalam konteks Indonesia, kita memang tidak menemukan ketentuan hukum yang secara eksplisit mewajibkan Presiden untuk menunjukkan ijazahnya secara terbuka.

Namun, aturan hukum mengenai syarat pendidikan tetap ada dan relevan. Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa syarat-syarat menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur dengan undang-undang.

Kemudian dijabarkan dalam Pasal 169 huruf r Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang mewajibkan calon Presiden memiliki ijazah minimal SLTA atau sederajat.

Selanjutnya, Pasal 9 huruf r PKPU Nomor 22 Tahun 2018 menetapkan bahwa dokumen pendidikan minimal SLTA atau sederajat adalah salah satu syarat administratif pencalonan yang diverifikasi oleh KPU.

Sayangnya, verifikasi oleh KPU bersifat tertutup dan hanya dilakukan antar lembaga, bukan secara terbuka untuk publik.

Akibatnya, ketika muncul kecurigaan baru di kemudian hari, mekanisme hukum yang tersedia mungkin justru tidak memberikan ruang bagi proses pembuktian yang transparan.

Bahkan, pengadilan tampaknya — atau setidaknya berpotensi — menolak gugatan-gugatan tersebut sebelum memasuki tahap pembuktian.Kasus Bambang Tri Mulyono maupun Eggi Sudjana yang gugatan hukumnya terkait dugaan ijazah palsu.

Jokowi ditolak oleh pengadilan, bisa jadi merupakan contoh konkret yang layak dijadikan rujukan atas dugaan tertutupnya ruang pembuktian dalam isu ini.

Publik yang kritis kemudian menelusuri sendiri berbagai detail teknis: bentuk ijazah, jenis huruf, tanda tangan dosen pembimbing, hingga jenis tinta yang dinilai tidak lazim untuk tahun 1980-an.

Sebagian mungkin keliru atau terlalu spekulatif. Namun munculnya aneka tafsir itu semestinya dibalas dengan klarifikasi langsung dari Jokowi, bukan hanya melalui institusi.

Dalam demokrasi yang sehat, legalitas tidak cukup tanpa legitimasi moral. Pemimpin tertinggi negara bukan hanya simbol birokrasi, tetapi juga teladan integritas.

Ketika Presiden memilih diam atau sekadar menyerahkan jawaban kepada orang lain, publik bisa menafsirkan bahwa ia menghindar. Dan ketika rakyat merasa pemimpinnya bersembunyi, maka kepercayaan mulai runtuh — meskipun secara hukum ia dinyatakan benar.

Yang lebih penting dari itu semua: ini bukan soal hukum semata. Ini soal etika kepemimpinan. Ini bukan soal menyudutkan Jokowi secara pribadi, apalagi membongkar aib. Ini tentang membangun budaya demokrasi yang sehat, di mana transparansi bukan kelemahan, tapi kekuatan.

Kepercayaan publik tidak dibangun di ruang sidang atau konferensi pers institusi, tetapi dari keberanian seorang pemimpin untuk tampil dan bicara apa adanya.

Jika Obama bisa menjawab sendiri tuduhan terhadap dirinya, dan kemudian tetap dipercaya dua periode oleh rakyat AS, mengapa Jokowi tidak bisa melakukan hal yang sama terhadap ijazahnya?

Padahal Jokowi dan Obama juga sama-sama pernah memimpin negara besar selama dua periode. Jawaban atas pertanyaan itu akan menentukan bukan hanya reputasi pribadi Jokowi, tetapi juga kualitas demokrasi kita sebagai bangsa.

Penulis adalah Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (Hasrat)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here