Oleh : Laksma TNI (Purn) Jaya Darmawan, M.Tr.Opsla, Pemerhati Kebangsaan dan Geopolitik
GEOPOLITIK Timur Tengah kembali bergejolak. Tepat pada 17 September 2025, Arab Saudi dan Pakistan resmi menandatangani Pakta Pertahanan Strategis Bersama. Isi perjanjian tersebut jelas: serangan terhadap salah satu pihak akan dianggap sebagai serangan terhadap keduanya.
Perjanjian ini bukan sekadar simbolik, melainkan reposisi kekuatan global. Pasalnya, Pakistan adalah satu-satunya negara Muslim pemilik senjata nuklir, sementara lebih dari 81 persen persenjataannya dipasok oleh Tiongkok (data SIPRI). Dengan kata lain, ketika Riyadh berdiri di samping Islamabad, sesungguhnya bayang-bayang Beijing lah yang mengayomi.
Retaknya Aliansi Saudi-Amerika
Selama puluhan tahun, Arab Saudi menggantungkan keamanan nasionalnya pada Perjanjian Quincy (1945), yang menjadi dasar hubungan erat dengan Amerika Serikat: minyak Saudi dijamin dengan perlindungan militer AS. Riyadh telah menggelontorkan lebih dari USD 142 miliar untuk kontrak senjata Amerika. Namun kepercayaan itu kini runtuh.
Pukulan telak datang pada 9 September 2025, ketika rudal Israel menembus wilayah udara Saudi dan menghantam Doha, Qatar. Fakta ini dikonfirmasi oleh The Wall Street Journal dan sumber intelijen regional. Pertanyaan besar pun muncul: ke mana perginya sistem pertahanan udara Amerika yang dipasang di Saudi? Apakah sengaja tidak diaktifkan, atau memang gagal total?
Kegagalan ini dianggap bukan insiden teknis, melainkan kegagalan strategis yang mengguncang fondasi aliansi Riyadh–Washington. Hanya delapan hari setelah insiden itu, Arab Saudi menandatangani pakta baru dengan Pakistan. Jelas, ini bukan kebetulan, melainkan respons logis terhadap apa yang oleh kalangan elite Saudi disebut sebagai “pengkhianatan sekutu.”
Perlindungan Nuklir Tiongkok
Pakta Saudi–Pakistan bukan berdiri sendiri. Dalam konteks internasional, ia berarti perlindungan nuklir tak langsung dari Tiongkok. Pada Mei 2025, Pakistan berhasil menghadapi eskalasi udara dengan India menggunakan jet tempur Chengdu J-10C buatan Tiongkok. Fakta ini menunjukkan reliabilitas sistem persenjataan Beijing, yang kini diyakini Riyadh lebih efektif ketimbang janji Washington.
Lebih jauh, kerja sama Riyadh–Beijing tak hanya di ranah militer. Sejak 2017, Tiongkok melakukan survei uranium di gurun Saudi dan pada April 2025 memperdalam kerja sama nuklir sipil, termasuk studi keselamatan reaktor. Infrastruktur nuklir sipil ini, menurut para analis, berpotensi menjadi basis program nuklir militer bila kondisi mengharuskan.
Serangan ke Dolar: Perang Mata Uang Dimulai
Selain ranah militer, Arab Saudi bersama Tiongkok juga melancarkan serangan finansial terhadap dominasi dolar Amerika. Proyek ambisius NEOM senilai USD 500 miliar menggunakan Renminbi (RMB), bukan dolar, dalam kontrak utama infrastruktur. Demikian pula perdagangan minyak mentah sejak awal 2025 mulai difasilitasi dengan RMB di bursa Shanghai.
Data S&P Global menunjukkan kontrak minyak berbasis RMB telah mencakup hampir 10 persen perdagangan minyak dunia. Meski tampak kecil, dampak psikologisnya besar: hegemoni petrodollar mulai terguncang. Bagi Saudi, ini bukan semata soal ekonomi, melainkan perlindungan strategis dari sanksi keuangan AS.
Implikasi Regional dan Global
Dengan payung nuklir Pakistan–Tiongkok, Riyadh menegaskan kemandirian dari Washington. Serangan Israel ke Qatar menjadi pemicu nyata bahwa sistem lama sudah gagal.
Pakta ini dapat memicu perlombaan senjata nuklir di Timur Tengah, melibatkan Iran, Israel, dan bahkan Turki.Transaksi energi dengan RMB memperkuat blok finansial non-dolar. Bagi Amerika, ini ancaman eksistensial terhadap sistem Bretton Woods yang menopang dominasi ekonomi mereka sejak 1945.
Penutup
Arab Saudi kini resmi berada dalam lindungan naga dari Timur. Pakta pertahanan dengan Pakistan dengan Tiongkok sebagai pemasok utama–menjadi sinyal berakhirnya era lama di Timur Tengah. Dari serangan rudal Israel ke Qatar, hingga pergeseran perdagangan minyak ke RMB, dunia menyaksikan transisi besar: Amerika bukan lagi penjaga langit Arab, Beijing lah yang kini berdiri di belakang Riyadh.
Sejarah mencatat, pada 1945 Washington mendapat Saudi melalui Quincy Agreement. Delapan dekade kemudian, pada 2025, giliran Beijing yang meraih peran itu. Dunia pun bertanya: Apakah ini awal dari berakhirnya dominasi Amerika di Timur Tengah?