Home News Survei: Mayoritas Menolak Format Kelas Standar BPJS Kesehatan

Survei: Mayoritas Menolak Format Kelas Standar BPJS Kesehatan

0
SHARE

Matanurani, Jakarta – BPJS Kesehatan telah melakukan survei atas rencana pemberlakuan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS). Survei terhadap 2.000 peserta tersebut menunjukkan, mayoritas peserta menolak penyatuan kelas.

Hal ini disampaikan oleh Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR, Senin (4/7). Peserta Kelas 1 BPJS Kesehatan, kata Ali, 69% menyatakan menolak jika mendapatkan layanan kesehatan dengan rawat inap kelas standar, begitu juga dengan Kelas 2, dan 3.

“Kelas 3 kalau kita tanya, iurannya naik, kelasnya naik. Mereka jawab nggak mau, mereka tetap dengan Kelas 3 dengan iuran sekian. Itu survei dengan lebih dari 2.000 orang (peserta BPJS Kesehatan),” jelas Ali.

Diketahui implementasi KRIS JKN telah diamanatkan di dalam Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yang kemudian aturan lebih lanjut diturunkan di dalam Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Menurut Ali, berdasarkan Perpres 64 Tahun 2020 tersebut, alasan perlu diterapkannya KRIS JKN adalah agar BPJS bisa keluar dari jebakan defisit yang selama ini terus menghantui.

“Defisit lebih dari Rp 50 triliun. Makanya mengakibatkan persoalan rumit. Dibikin Perpres (64 Tahun 2020) dan harus cepat selesai. Dalam Pasal 54A, eksplisit jelas disebutkan, berkelanjutan program pendanaan KRIS agar tidak defisit. Sekarang (BPJS Kesehatan) sudah tidak defisit,” ujarnya.

“Sehingga isu ini (KRIS JKN) out of date, atau tidak diperlukan lagi. Makanya kita harus prioritas mana yang jadi masalah dari sisi masyarakat, apa masalah pokok sebenarnya,” tegas Ali.

Dalam penerapan layanan BPJS Kelas Standar ini, kata Ali banyak sekali persoalan yang harus diperhitungkan dan dikonsepkan dengan matang. Besaran tarif yang dibayarkan BPJS Kesehatan ke fasilitas kesehatan akan menjadi dobel.

Misalnya saja, ada pasien yang dirawat di rumah sakit yang sebetulnya bisa dirawat di puskesmas, namun karena obat-obatan atau peralatannya tidak memadai, maka peserta harus kembali ke rumah sakit.

“Karena orang masih percaya rumah sakit daripada layanan primer (Puskesmas). Ini PR kita bersama. Pas sudah dirujuk dan terkendali di rumah sakit, dikembalikan ke layanan primer, obatnya kosong, dan dikembalikan ke rumah sakit,” paparnya.(Cnb).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here