Home News PLN Terperangkap Sumber Energi Polutif dan Mahal

PLN Terperangkap Sumber Energi Polutif dan Mahal

0
SHARE

Matanurani, Jakarta – Sejumlah kalangan menilai PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN terperangkap pada pemakaian sumber energi batu bara yang sangat polutif, mahal, dan pasokannya bakal habis. Sebab, saat ini sekitar 60 persen pembangkit listrik milik BUMN itu menggunakan batu bara. Itu belum termasuk proyek 35 ribu megawatt (MW).

Akibatnya, ketika harga batu bara melambung tak terkendali seperti sekarang ini, PLN kelabakan karena biaya produksi listrik tahun ini berpotensi membengkak hingga 15 triliun rupiah, seperti pada 2017. Di sisi lain, kemungkinan kenaikan tarif listrik dalam waktu dekat sudah tertutup.

Direktur Eksekutif Energi Watch, Mamit Setiawan, menyatakan melambungnya harga batu bara belakangan ini semestinya menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah untuk mengurangi beban keuangan PLN. “Kurangi porsi pembangkit berbasis batu bara, revisi RUPTL (rencana usaha penyediaan tenaga listrik) dan perbanyak pembangunan pembangkit listrik dari energi baru dan terbarukan (EBT) serta gas alam,” ujar dia, di Jakarta, Selasa (20/2).

Kebutuhan batu bara PLN terus bertambah karena pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) baru terus bermunculan. Berdasarkan RUPTL PLN 2017-2026, BUMN itu menargetkan pengadaan PLTU milik swasta mencapai 12.845 MW. Menurut Mamit, untuk membangun pembangkit listrik berbasis EBT pada tahap awal membutuhkan biaya relatif lebih besar, tetapi setelah itu ke depannya makin murah dan efisien, sehingga mengurangi beban PLN.

Ekonom Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Y Sri Susilo, menambahkan, momentum harga batu bara ini semestinya dimanfaatkan pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan listrik yang lebih banyak bergantung pada pemakaian batu bara. “Pemerintah tampaknya lebih condong pada energi kotor ketimbang EBT.

Salah satu buktinya, skema tarifnya tidak adil. Tarif untuk energi batu bara diambangkan mengikuti harga pasar, sedangkan tarif EBT dipatok,” papar dia. Padahal, lanjut Susilo, energi batu bara yang kotor dan polutif itu tidak pernah murah dan tidak bisa bertahan selamanya karena suatu saat akan habis.

Bahkan, energi polutif tersebut kini mulai ditinggalkan oleh sekitar 75 persen konsumen dunia, yakni Uni Eropa, Jepang, Amerika Serikat, Tiongkok, dan India. “Sangat aneh, jika kita malah memulai. Jika pemerintah ngotot menggunakan energi kotor dan mahal itu, patut diduga ada kepentingan-kepentingan pribadi, tapi mengorbankan kepentingan satu negara,” tukas dia.

Menurut Susilo, solusi untuk mengatasi hal ini adalah menghentikan proyek PLTU batu bara yang akan dibangun dalam program 35 ribu MW, maka otomatis harga akan turun. Kemudian, alihkan ke EBT dan gas alam yang tersedia melimpah di Indonesia.

“Pemerintah nggak mungkin mengatur harga batu bara yang ditentukan mekanisme pasar. Itu menyalahi hukum perdagangan, demokrasi ekonomi. Yang bener PLTU batu bara harus ditinggalkan, bukan dimulai,” ujar dia.(Koj).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here