Matanurani, Jakarta – Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota atau Pilkada pada Selasa (5/5/2020) lalu.
Perppu tersebut hanya terdiri dari tiga pasal yaitu, perubahan Pasal 120, penambahan Pasal 122A, dan penambahan Pasal 201A.
Menanggapi Perppu itu, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai, Perppu itu menempatkan Komisi Pemilhan Umum (KPU) tidak mandiri.
Alasannya, ketentuan yang mensyaratkan persetujuan bersama dengan DPR dan Pemerintah sebelum menunda dan melanjutkan kembali tahapan pilkada, tidak sejalan dengan prinsip kemandirian KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu.
“Karena situasi penundaan pilkada itu disebabkan oleh alasan keamanan, bencana, dan gangguan kemananan, harusnya KPU berkoordinasi dengan lembaga-lembaga negara yang bertanggung jawab untuk urusan tersebut,”kata Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini di Jakarta, Kamis (7/5).
“Dalam hal penanganan bencana non alam pandemi Covid-19, tentu KPU perlu berkoordinasi dengan Badan Nasional Penanggulan Bencana (BNPB) dan Kementrian Kesehatan (Kemkes),” imbuhnya.
Titi melihat, pengaturan bahwa KPU mesti mendapatkan persetujuan bersama dengan DPR dan Pemerintah untuk menunda dan melanjutkan tahapan pilkada, adalah pengaturan yang tidak relevan, serta berpotensi mendistorsi kemandirian KPU.
Dalam pembahasan di DPR untuk disahkan menjadi Undang-undang, Komisi II DPR harus menyelesaikan masalah ini dan harus kembali ke prinsip kemandirian KPU.
Dengan Perppu itu, Titi melihat pemerintah terlalu memaksakan diri menjadwalkan pemungutan suara Pilkada 2020 pada bulan Desember.
Kesan yang muncul dalam Perpu ini, terutama ketentuan di dalam Pasal 201 A ayat (3) adalah tahapan pilkada seolah hanya mencakup persoalan pemungutan suara saja.
Padahal, jika pemungutan suara dilaksanakan pada bulan Desember, tahapan Pilkada 2020 yang saat ini ditunda, mesti dimulai kembali selambat-lambatnya pada bulan Juni 2020.
Sebelum tahapan dimulai kembali, tentu di dalam bulan Mei ini, KPU dan Bawaslu, serta stakeholder pemilu lainnya sudah mesti bersiap kembali untuk melanjutkan tahapan pilkada.
“Kita tahu semua, hampir semua tahapan pilkada, merupakan kegiatan yang mengundang interaksi banyak orang, serta kegiatan yang dilaksanakan di luar rumah. Aktivitas yang pastinya bertentangan dengan upaya menekan angka penyebaran Covid-19,” kata Titi.
“Pertanyaannya, mengapa pemerintah begitu berani mengambil resiko melaksanakan pilkada ditengah pandemi Covid-19 yang belum juga berhasil diantisipasi angka penyebarannya,” pungkasnya.(Bes).