Matanurani, Jakarta – Perang dagang antara Amerika Serikat (AS)- Tiongkok pada akhirnya akan membatasi pergerakan arus barang di dunia. Akibatnya, permintaan global terhadap ekspor Indonesia bakal terganggu.
Bahkan ke depannya, tidak tertutup kemungkinan Tiongkok bisa mengalihkan ekspornya dari AS ke Indonesia. Oleh karena itu, selama produk ekspor Indonesia masih didominasi oleh bahan mentah, maka kinerja ekspor hanya akan berjalan di tempat. Dampaknya, perekonomian daerah penghasil komoditas ekspor akan terhambat.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro, mengkhawatirkan perang dagang yang digencarkan AS bisa berdampak pada perkembangan ekonomi daerah.
Seperti dikabarkan, Presiden AS, Donald Trump, berencana mengevaluasi kembali kebijakan pemotongan tarif bea masuk atau Generalized System of Preference (GSP) ke beberapa produk ekspor, termasuk dari Indonesia.
Bambang mengatakan dampak perang dagang itu berpotensi mengarah pada kawasan dengan masyarakat yang bergantung pada industri manufaktur, khususnya tekstil.
Pasalnya, tekstil menjadi salah satu barang ekspor yang terkena penghapusan insentif GSP. “Produk manufaktur itu paling besar memang dari Jawa.
Jadi, kalau bicara bagaimana nanti potensi dampak perang dagang, ya harus lihat yang akan kena,” papar dia, di Jakarta, Selasa (10/7). Menurut Bambang, kebijakan tersebut otomatis akan memengaruhi jumlah ekspor Indonesia ke Negeri Paman Sam tersebut.
“Kalau ekspor produk atau komoditas terganggu. dikhawatirkan nanti perekonomian di daerah penghasil komoditas atau barang ekspor tersebut bisa terganggu,” jelas dia.
Saat ini, pemerintah telah melakukan negosiasi dengan AS terkait rencana evaluasi GSP agar ekspor tekstil dari Indonesia ke AS tak terganggu.
Kerugian akibat penghapusan insentif bea masuk dari AS bisa diminimalisasi dengan upaya produsen tekstil untuk mengalihkan negara tujuan utama ekspor seperti AS ke negara alternatif.
“Tapi, tentu harus mempersiapkan diri,” imbuh Bambang. Menurut dia, hal utama yang perlu dilakukan oleh pengusaha tekstil dalam negeri, yakni menjaga daya saing produk tekstil itu sendiri. Bila daya saing produk tekstil terjaga maka Indonesia tidak perlu takut kekurangan tujuan negara ekspor.
“Kalau menjaga daya saing, lalu dihalangi suatu negara harusnya produk yang sudah kompetitif ini bisa mengalir ke negara lain. Harusnya jaringan ekspornya tidak terganggu,” tegas Bambang.(Koj).