Matanurani, Jakarta – Survei terbaru yang digagas UNESCO mengungkap bahwa mayoritas influencer dan kreator konten tidak melakukan verifikasi fakta sebelum memposting di media sosial.
Temuan ini menyoroti potensi penyebaran misinformasi yang dapat menggerus kepercayaan publik terhadap media dan memengaruhi diskursus umum.
Fakta Mengejutkan dari Survei
Berdasarkan survei terhadap 500 influencer dari 45 negara, sebanyak enam dari sepuluh kreator tidak memverifikasi keakuratan informasi sebelum membagikannya. Mayoritas mereka mengandalkan pengalaman pribadi, penelitian mandiri, atau wawancara dengan orang yang dianggap ahli, tanpa merujuk pada sumber resmi seperti dokumen pemerintah atau situs web terpercaya.
Beberapa kreator bahkan menilai kredibilitas informasi hanya berdasarkan popularitas sumber, seperti jumlah “likes” atau penayangan. Hal ini menempatkan mereka dalam risiko menyebarkan misinformasi yang dapat berdampak luas.
Kerentanan Terhadap Misinformasi
“Rendahnya prevalensi pemeriksaan fakta menyoroti kerentanan influencer terhadap misinformasi, yang dapat berdampak pada wacana publik dan kepercayaan terhadap media,” tulis laporan UNESCO, dikutip dari The Guardian, Selasa (3/12).
Menurut Adeline Hulin, spesialis literasi media UNESCO, banyak influencer tidak menyadari bahwa pekerjaan mereka memiliki elemen jurnalistik. “Mereka tidak menganggap diri mereka sebagai bagian dari dunia jurnalistik,” ujarnya.
Pandangan ini dikuatkan oleh Salomé Saqué, seorang jurnalis Prancis sekaligus influencer berita. Ia menilai banyak kreator kurang memahami dampak konten mereka terhadap masyarakat dan membutuhkan edukasi tentang praktik jurnalistik.
Masalah Transparansi dan Hukum
Selain kurangnya verifikasi fakta, laporan tersebut juga menemukan bahwa hampir separuh kreator hanya memiliki pemahaman parsial mengenai hukum terkait kebebasan berekspresi, pencemaran nama baik, dan hak cipta. Lebih dari seperempat responden bahkan tidak mengetahui regulasi yang berlaku di negara tempat mereka beroperasi.
Masalah transparansi juga menjadi perhatian. Hanya separuh dari influencer secara jelas mengungkapkan sponsor atau sumber pendanaan mereka kepada audiens, meskipun aturan di negara seperti AS dan Inggris mengharuskan hal tersebut.
Upaya UNESCO dan Solusi Edukasi
Untuk meningkatkan tanggung jawab kreator, UNESCO bersama Knight Center for Journalism in the Americas menawarkan kursus daring gratis bertema “How to be a Trusted Voice Online”. Kursus ini mencakup modul tentang verifikasi fakta dan pembuatan konten untuk isu-isu penting seperti pemilu dan krisis. Hingga saat ini, sekitar 9.000 influencer telah terdaftar.
“Kurangnya evaluasi kritis terhadap informasi menyoroti kebutuhan mendesak akan peningkatan keterampilan literasi media di kalangan kreator,” kata laporan UNESCO.
Peringatan untuk Era Digital
Sebagian besar responden survei adalah “nano-influencer” dengan pengikut hingga 10.000 orang, terutama aktif di Instagram dan Facebook. Namun, sekitar 25 persen memiliki pengikut hingga 100.000 orang.
Survei ini menjadi peringatan akan pentingnya tanggung jawab para kreator konten di era digital. Tanpa verifikasi fakta dan pemahaman yang lebih baik tentang dampak konten mereka, influencer berisiko menjadi penyebar misinformasi, alih-alih menjadi suara yang terpercaya bagi audiens mereka.(Sua).