Matanuri, Jakarta – Langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam pada Rabu, 5 Juli 2017 patut mendapat apresiasi. Nur Alam menjadi tersangka kasus suap pemberian izin usaha pertambangan eksploitasi menjadi izin usaha pertambangan operasi produksi kepada PT Anugrah Harisma Barokah di Provinsi Sulawesi Tenggara 2008-2014. Dari data Pusat Pelaporan dan Analisis Transasksi Keuangan (PPATK), Nur Alam disebutkan telah menerima transfer sebesar 4,5 juta Dollar AS dari perusahaan penerima izin usaha pertambangan nikel.
Bahkan sebelumnya, Rabu, 21 Juni 2017, KPK telah menangkap Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti bersama istri yang diduga terlibat kasus suap proyek pembangunan jalan di Bengkulu. KPK menyita uang Rp 1 miliar. Uang tersebut bagian dari komitmen fee suap senilai Rp 4,7 miliar.
Menyikapi kedua langkah KPK tersebut, Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Rumah Gerakan 98 memberikan apresiasi. Tindakan tersebut merupakan pelaksanaan dari Pasal 11 Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang : Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan organisasi lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara….Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1.000.000.000,00”.
Langkah progresif KPK dalam memberantas korupsi di daerah-daerah tersebut sejatinya merupakan kelanjutan dari penindakan para kepala daerah yang telah disidik sebelumnya, di antaranya: Atut Chosiyah (Gubernur Banten), Annas Maamun (Gubernur Riau), Gatot Pujo Nugroho (Gubernur Sumatera Utara), Ojang Suhandi (Bupati Subang), Yan Anton Ferdian (Bupati Banyuasing) dan masih banyak yang lainnya. Tindakan tersebut diapresiasi karena penting bagi upaya menaikkan persepsi indeks persepsi Indonesia. Dengan menggunakan skor skala 0 sampai 100, skor Indonesia meningkat dari tahun 2015 sebesar 36 naik satu poin menjadi 37.
Capaian tersebut terbilang masih sangat mengecewakan bila dibanding negara – negara di Asia Tenggara. Singapura masih memimpin dengan meraih skor CPI 87, disusul Brunei Darussalam meraih skor CPI 58 yang berada di peringkat 41, disusul Malaysia yang meraih skor CPI 49. Posisi skor IPK Indonesia 37 masih jauh untuk bisa mengejar Malaysia yang skornya mencapai 49. Butuh 12 poin. Artinya masih banyak langkah-langkah pencegahan dan penindakan, serta varian-varian indikator perilaku korupsi di semua instansi pemerintah dan lembaga penyelenggaraan negara yang harus dihapuskan.
Demi mengejar indikator ketertinggalan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang minimal bisa mengejar Malaysia, sebagaimana dijanjikan oleh Ketua KPK Agus Raharjo, maka KPK terus melanjutkan tindak pemberantasan korupsi. Tekanan Pansus Angket yang menyasar KPK pun tidak mampu menyurutkan langkah. Komisi Anti Rasuah ini bergeming dengan semua tekanan Pansus.
Namun demikian, Dewan Pimpinan Nasional Rumah Gerakan 98 memandang bahwa tidak berarti progresivitas penanganan kasus korupsi di pemerintahan daerah lalu menomorduakan penyelidikan dan penyidikan kasus e-KTP yang sebagian sudah masuk proses yudisial. Saat ini rakyat menunggu keseriusan KPK menuntaskan kasus korupsi Rp 2,3 triliun dari mega proyek e-KTP Rp 5,9 triliun.
Terkait hal ini, Dewan Pimpinan Nasinal (DPN) Rumah Gerakan 98 mendesak KPK agar serius dalam menuntaskan kasus e-KTP. Berdasarkan fakta-fakta persidangan sebagaimana pernyataan para saksi, Ketua DPR RI Setya Novanto diduga kuat terlibat dalam kasus korupsi e-KTP. Dalam surat dakwaan disebut mendapat jatah Rp 574 miliar.
KPK harus menunjukkan ketegasannya dalam penegakan hukum, dan menjalankan asas persamaan di depan hukum, aquality before the law. Betapapun Setya Novanto adalah Ketua DPR RI, namun bila mencukupi dua alat bukti harus ditetapkan sebagai tersangka dan menangkap Setya Novanto. Mari bersama KPK menjaga Indonesia.(Syd)