Matanurani, Jakarta – Nilai tukar mata uang rupiah terhadap dollar AS anjlok ke tingkat yang sama dengan saat terjadi krismon tahun 1998.
Anjloknya nilai tukar Rupiah berpotensi mengancam peluang Presiden Joko Widodo untuk terpilih kembali. Saingannya kini mengalihkan fokus ke isu ekonomi dalam upaya mengekspos kelemahan utama Pemerintahan Jokowi.
Demikian disampaikan analis politik independen Kevin O”Rourke dalam wawancara dengan ABC Australia.
Bulan lalu, Presiden Jokowi memilih ulama konservatif Ma”ruf Amin sebagai calon wakil presiden, dalam pilpres yang diperkirakan akan banyak bertarung dalam isu agama.
Namun, anjloknya nilai tukar rupiah ke posisi terendah yang belum pernah terjadi sejak tahun 1998 dan menyebabkan jatuhnya rezim Suharto, pilihan calon wapres Jokowi itu sekarang dilihat sebagian orang justru sebagai “penghalang”.
“(Joko) Widodo memasuki pemilu dengan menggunakan taktik pertempuran sebelumnya,” ujar O”Rourke, yang menerbitkan buletin Reformasi Weekly.
“Ia memilih calon wakil presiden dari ulama yang sangat konservatif, tampaknya dengan pemikiran bahwa dia perlu mengantisipasi serangan dari sisi religiusnya,” jelasnya.
“Kenyataannya, lawan-lawannya akan mengkritik dia dari sisi ekonomi dan cawapresnya tidak membantu sama sekali di bidang itu. Bahkan, dia mungkin jadi penghalang,” tambah O”Rourke.
Sabtu pekan lalu, koalisi capres Prabowo Subianto mengeluarkan pernyataan menyalahkan pemerintahan Jokowi atas anjloknya nilai mata uang.
“Kami sangat prihatin dengan melemahnya mata uang Rupiah,” kata pernyataan itu.
“Ini menjadi beban ekonomi nasional kita, khususnya bagi rakyat Indonesia yang paling rentan, yang cepat atau lambat harus menghadapi kenaikan harga-harga bahan pokok,” katanya.
“Fundamental ekonomi kita melemah karena ada kesalahan strategi yang digunakan untuk mendorong pembangunan ekonomi kita,” demikian dikatakan.
Harga pangan jadi isu utama pemilih
Nilai mata uang Rupiah terhadap dolar AS anjlok sekitar 9 persen tahun ini.
Hal itu sebagian disebabkan oleh keputusan AS menaikkan suku bunga sehingga mendorong aliran modal kembali ke AS, dan menghantam pasar negara berkembang seperti Turki dan Argentina.
Kondisi ini membuat banyak barang impor di Indonesia jadi lebih mahal, yang pada gilirannya memberikan tekanan pada inflasi.
“Jajak pendapat selama bertahun-tahun menunjukkan bahwa yang paling penting bagi pemilih adalah inflasi, terutama harga makanan,” jelas O”Rourke.
“Jika nilai mata uang terus melemah, harga makanan pasti akan naik,” tambahnya.
Matthew Busch, Visiting Fellow pada Lowy Institute di Australia, mengatakan jika harga makanan menjadi lebih mahal, pasti Presiden akan disalahkan.
“Jika harga makanan mulai bergerak naik, itu bisa menjadi masalah nyata,” ujar Busch.
“Hal ini telah menggerakkan pemilih di masa lalu dan memiliki dampak nyata pada cara rakyat mengevaluasi kinerja Presiden,” tambahnya.
Tahun ini saja Indonesia telah mengimpor 2 juta ton beras, jauh lebih banyak dari biasanya, dalam upaya untuk menekan harga bahan makanan utama ini.
Pilpres akan sangat kompetitif
Pemerintahan Jokowi juga telah memberlakukan langkah-langkah proteksionis, termasuk menaikkan tarif hingga 10 persen pada sekitar 1.000 barang diimpor, mulai dari sabun hingga elektronik, dalam upaya memperkecil defisit neraca berjalan.
Dua pekan lalu, Perdana Menteri Australia Scott Morrison menandatangani perjanjian dengan Presiden Jokowi untuk merampungkan negosiasi Perdagangan Bebas kedua negara.
Namun, Profesor Hal Hill, pakar ekonomi pada Australian National University, menilai perdebatan tentang nilai tukar Rupiah “berlebihan”.
“Indonesia mengalami salah satu krisis ekonomi terbesar di dunia modern tahun 1997/98 ketika Rupiah anjlok dan sektor perbankan runtuh, serta memicu keruntuhan rezim Suharto,” katanya. (Viv).