Matanurani, Jakarta – Sejak 1966, tanggal 8 September ditetapkan Unesco sebagai Hari Aksara Internasional (HAI). Kini di tahun ke 52, perayaan HAI mungkin tetap belum terasa penting, kecuali bagi pemerintah yang memang punya target pengaksaraan penduduk.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) serta Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan Kemdikbud, angka melek huruf (AMH) Indonesia mencapai 97,93% pada 2017. Maka tinggal sekitar 2,07 persen atau 3.387.035 jiwa yang belum melek aksara.
Definisi angka melek huruf (AMH) itu adalah proporsi penduduk berusia 15 tahun ke atas yang memiliki kemampuan membaca dan menulis kalimat sederhana dalam huruf latin, huruf arab, dan huruf lainnya seperti huruf jawa ataupun kanji. Sementara, aksara daerah mendapati porsi sedikit dari keseluruhan angka melek huruf. Apalagi aksara daerah makin terkikis aksara latin.
Padahal dalam sistem aksara daerah itulah terdapat sejarah tingginya budaya dan peradaban kita. Selain itu aksara daerah juga mencerminkan kemajuan cara pikir simbolik bangsa Indonesia.
Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) LIPI Endang Turmudi, Jumat (7/9/2018) kepada Media Indonesia mengungkapkan jika hilangnya sistem aksara daerah juga akan menjadi kerugian bagi cara pikir simbolik kita. Selain itu tentunya merupakan kehilangan bentuk budaya yang sangat penting.
“Kalau untuk ilmuwan, budayawan, kemudian pemimpin tentu saja itu menyesalkan perkembangan yang seperti ini. Karena itu dianggap sebagai kebudayaan yang akan hilang, punah. Dalam kebudayaan kan ada filosofi, kaya dengan nilai. Kalau hilang ya nanti kekayaan kita hilang,” tutur Endang.
12 Sistem
Sistem aksara daerah yang kita miliki setidaknya ada 12. Mereka adalah aksara Jawa, Bali, Sunda, Bugis/Lontara, Toba, Simalungun, Pakpak, Karo, Mandailing, Lampung, Rejang dan Kerinci.
Beberapa daerah, dikatakan Endang, memang mengkonservasi dan merevitalisasi penggunaan aksara daerahnya, tetapi belum cukup bisa meningkatkan vitalitas aksara daerah itu.
Kepala Pusat Pengembangan dan Perlindungan, Badan Pengembangan Dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud, Hurip Danu Ismadi mengungkapkan jika pelestarian aksara daerah juga dilakukan dengan program Memory of the World yang didirikan oleh UNESCO pada 1992.
Aksara daerah di dokumentasikan dalam program itu. Namun memang pendokumentasian itu lebih bersifat menunjukkan kepada dunia akan kekayaan dan kemajuan cara pikir bangsa Indonesia sejak lampau. Sementara untuk benar-benar menjaga kehidupan aksara daerah tentu harus dilakukan masyarakat kita sendiri. (Mei).