Matanurani, Jakarta — Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penananam Modal (BKPM) mengungkap investasi sekitar Rp2.000 triliun batal masuk ke Indonesia pada 2024 atau di masa pemerintahan Presiden RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi).
Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/Wakil Kepala Badan Koordinasi Penananam Modal (BKPM) Todotua Pasaribu mengatakan hilangnya potensi itu dipicu perizinan yang rumit. Selain itu, iklim investasi yang tak kondusif dan banyak kebijakan yang tumpang tindih turut menjegal minat investor.
“Kita menemukan angka di tahun 2024 itu, angka realisasi investasi itu sekitar Rp1.500 triliun, mungkin tembus ke angka Rp2.000 triliun, unrealisasi investasi,” ungkap Todotua di Jakarta, Kamis (3/7), dilansir Antara.
Dia menyebut pemerintah sudah berbenah dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
Menurutnya, aturan itu mengintegrasikan Peraturan BKPM 3/4/5 Tahun 2021. Payung hukum tersebut mencakup Sistem Pengurusan Perizinan Tunggal Daring (OSS), pelayanan perizinan, dan pengawasan.
Pemerintah juga akan langsung menerbitkan izin investasi bagi investor yang menanamkan duit di wilayah kawasan, kawasan industri, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), serta zona perdagangan bebas. Syarat-syarat perizinan tetap harus dipatuhi, tetapi bisa dilakukan dalam post audit.
Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menilai investasi Rp2.000 triliun batal masuk ke Indonesia karena berbagai kebijakan pemerintah.
Dia merujuk peringkat tingkat efisiensi pemerintah Indonesia yang turun dari 23 ke 34 pada World Competitiveness Ranking. Huda juga menyoroti peringkat Indonesia di urusan kerangka kerja institusional, yang turun 26 peringkat.
Artinya ada yang salah dengan kebijakan-kebijakan terkait dengan competitiveness. Termasuk juga masalah premanisme, kegalauan masuk BRICS atau OECD, dan kebijakan yang memasukkan TNI di beberapa sektor terkait ekonomi. Ini yang menyebabkan bisnis tidak efisien,” kata Huda dikutip Jumat (4/7).
Huda juga menyoroti Incremental Capital to Output Ratio (ICOR) Indonesia yang sangat tinggi. Angka itu menunjukkan situasi yang tidak baik untuk pelaku bisnis di Indonesia.
Dia menilai jurus-jurus seperti revisi UU Cipta Kerja, belasan paket kebijakan ekonomi, hingga OSS terbukti gagal menarik investasi. Hal ini karena masalah esensial tidak tersentuh.
“Indonesia akan semakin ketinggalan dengan Malaysia yang peringkatnya meningkat. Investor akan memilih Malaysia sebagai tempat investasi yang memberikan kepastian usaha hingga ekonomi yang lebih efisien,” ucapnya. (Cen).