Matanurani, Jakarta — Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut pertumbuhan ekonomi nasional bisa terkontraksi lebih dalam ke kisaran minus 4,8 persen sampai minus 7 persen pada kuartal II 2020. Proyeksi tersebut lebih anjlok dari perkiraan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang minus 3,1 persen-minus 3,8 persen pada kuartal II 2020.
Hal ini diungkapkan Kepala BPS Suhariyanto saat rapat bersama Komisi XI DPR pada Senin (22/6). Ia mengatakan proyeksi ini berdasarkan asumsi pasar dari kondisi perdagangan pada April-Mei 2020.
“Tadi, Ibu Menkeu (Sri Mulyani) sudah menyampaikan prediksi ekonomi Indonesia akan alami kontraksi minus 3,1 persen, tapi kalau kami lihat dari trading ekonomi itu lebih dalam lagi minus 4,8 persen bahkan ada yang prediksi sampai minus 7 persen,” ungkap Suhariyanto.
Hasil survei BPS mencatat sebanyak 70,53 persen responden dengan tingkat pendapatan Rp1,8 juta per bulan mengalami penurunan pendapatan sejak pandemi virus corona atau covid-19.
Ia mengelaborasi beberapa faktor yang membuat kontraksi pertumbuhan ekonomi nasional akan lebih dalam pada kuartal II 2020. Pertama, dari tingkat pendapatan masyarakat.
Penurunan pendapatan juga dirasakan oleh 30,34 persen responden bergaji tinggi di atas Rp7,2 juta per bulan. “Dampak covid-19 ke pendapatan lebih dalam ke masyarakat berpendapatan rendah,” ujarnya.
Padahal, pos-pos pengeluaran masyarakat meningkat, mulai dari bahan makanan mentah, makanan dan minuman jadi, kesehatan, hingga pulsa atau paket data. Hanya pengeluaran Bahan Bakar Minyak (BBM) dan biaya transportasi yang menurun.
Kedua, penurunan pertumbuhan sektor-sektor industri masih berlanjut pada kuartal II 2020. Mulai dari perdagangan, industri, pertanian, pertambangan, konstruksi, serta transportasi dan pergudangan.
Ketiga, tercermin dari penurunan penjualan kendaraan bermotor. Data BPS mencatat penurunan penjualan mobil sebesar 40,5 pada kuartal I 2020, namun penjualan kembali turun sekitar 93,21 persen pada April-Mei 2020.
Begitu pula dengan penjualan motor yang turun 17,25 persen pada kuartal I 2020, kini sudah turun 79,31 persen pada April-Mei 2020. “Penurunan penjualan motor ini sangat merepresentasikan pengeluaran golongan menengah ke bawah dan dalam sekali,” jelasnya.
Keempat, ada penurunan transaksi elektronik masyarakat dari turun 1,07 persen pada kuartal I 2020. Pada kuartal II 2020 diperkirakan bakal turun lagi sekitar 18,66 persen.
Kelima, ada penurunan jumlah penumpang angkutan udara dari 13,62 persen pada kuartal I 2020 menjadi minus 87,91 persen pada kuartal II 2020. Keenam, tingkat inflasi rendah sekitar 0,07 persen secara bulanan pada Mei 2020.
“Pemerintah berupaya jaga pasokan pangan, tapi di sisi permintaan karena pendapatan turun dan supply (pasokan) alami gangguan dari bahan baku dan pelemahan permintaan. Pelemahan daya beli mudah dideteksi dengan pergerakan inflasi inti turun tajam Mei 2020,” imbuh dia.
Ketujuh, ekspor turun lebih tajam hingga 28,9 persen pada Mei 2020, meski impor juga turun 42 persen pada bulan yang sama. Kedelapan, ada penurunan jumlah wisatawan mancanegara dari beberapa negara.
“Jumlah penerbangan dari Jakarta ke Surabaya turun 96 persen, Denpasar turun 95 persen karena untuk berpergian butuh berbagai surat yang agak merepotkan,” tutur Suhariyanto.
Kesembilan, ada penurunan harga komoditas, seperti karet dan minyak sawit mentah (Crude Palm Oils/CPO) yang selanjutnya turut menurunkan Nilai Tukar Petani (NTP). Terakhir, ada penurunan jumlah iklan lowongan kerja yang cukup tajam pada Mei 2020.
“Jumlah perusahaan yang tawarkan iklan lowongan juga turun lebih dari 50 persen dan kami sudah menduga dampak covid-19 ke riil akan besar,” tandasnya. (Cen).