Home Opini Prihatin di 2024, Cemas di 2025

Prihatin di 2024, Cemas di 2025

0
SHARE

Oleh : Muhammad Nalar Al Khair

INFLASI 2024 tercatat sebesar 1,57 persen, angka terendah sejak 1958, yang seolah menjadi kabar baik. Namun, apakah benar demikian? Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa harga bahan pokok turun sepanjang paruh pertama 2024, tetapi fakta di lapangan justru menyiratkan hal yang berbeda.

Data dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) menunjukkan bahwa harga minyak goreng curah di pasar tradisional justru naik 21,1 persen sepanjang tahun. Beras medium juga mengalami kenaikan 4,1 persen year-to-date. Bahkan, jika dilihat dari paruh pertama 2024, harga minyak goreng curah sudah naik 11 persen, dan beras medium mengalami kenaikan 5,1 persen.

Jika inflasi terbilang rendah, namun harga-harga tetap naik, maka pertanyaan besar muncul: bagaimana kondisi daya beli masyarakat? Jawabannya jelas, daya beli masyarakat semakin anjlok.

Sepanjang 2024, gelombang PHK semakin meluas. Dari industri tekstil saja, banyak pabrik besar yang tutup, seperti PT Asia Pacific Fiber, PT Asia Citra Pratama, dan PT Delta Merlin Tesktil II (Duniatex Group), sebagaimana yang diungkapkan oleh Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wiraswasta.

PMI manufaktur yang terus berada di bawah angka 50 selama lima bulan berturut-turut juga menunjukkan sektor manufaktur, yang menjadi salah satu tulang punggung ekonomi, tengah tertekan. Penurunan impor bulan November sebesar 10,71% dibandingkan Oktober 2024 juga mendominasi penurunan impor barang baku/penolong dan barang modal. Jika ini bukan sinyal bahaya, lalu apa?

Rendahnya inflasi ini seharusnya lebih tepat disebut sebagai refleksi bahwa masyarakat semakin sulit untuk berbelanja. Di Kabupaten Sukabumi, misalnya, pemilik warung kelontong mengeluhkan semakin sepinya pembeli. Uang Rp10.000 kini sudah tidak cukup untuk membeli satu liter beras. Kondisi ini sangat memprihatinkan, namun tampaknya bukan menjadi prioritas utama bagi pemerintah.

Masalah ini semakin memicu kecemasan ketika melihat ke 2025. Pemerintah sudah berencana untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen. Ditambah lagi, subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang semakin ketat, sementara badai PHK belum juga reda. Kita jadi bertanya-tanya: apakah pemerintah terlalu sibuk dengan urusan transisi kekuasaan hingga lupa dengan rakyatnya?

Pemerintah harus lebih fokus dalam menangani akar permasalahan ini, seperti gelombang PHK dan turunnya daya beli. Salah satu langkah yang bisa diambil adalah memberikan insentif pajak bagi sektor manufaktur yang banyak menyerap tenaga kerja, bukan malah menaikkan PPN menjadi 12 persen. Jika berkunjung ke ritel modern saat ini, harga minyak goreng saja sudah melonjak.

Soal kenaikan PPN, apakah ini waktu yang tepat? Sebaiknya kebijakan ini ditunda hingga ekonomi kembali pulih. Alih-alih membebani masyarakat kecil, pemerintah bisa mengeksplorasi pajak progresif untuk kelompok berpenghasilan tinggi atau menaikkan pajak untuk sektor pertambangan yang merusak lingkungan.

Pajak ini tidak hanya lebih adil, tetapi juga dapat memberikan ruang fiskal tambahan tanpa memberatkan rakyat kecil. Aneh, justru pemerintah memberikan insentif untuk mobil listrik berupa PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar 10 persen dan 3 persen untuk mobil hybrid. Jelas-jelas yang bisa membeli mobil tersebut adalah masyarakat kelas atas, bukan kelas bawah, tapi malah mendapat insentif. Betapa uniknya Republik ini.

Sektor energi juga perlu mendapat perhatian serius. Pengetatan subsidi BBM harus dilakukan dengan pelan-pelan dan disertai penguatan transportasi umum yang terjangkau. Jangan sampai masyarakat kelas menengah ke bawah jadi korban utama dari kebijakan ini.

Tapi, jika berbicara soal transportasi umum, kita tidak bisa hanya berkaca pada Jakarta. Berapa banyak kota dan kabupaten di Indonesia yang transportasi umumnya sudah modern dan nyaman? Karena sudah jelas bahwa jika terjadi pembatasan BBM subsidi, maka itu akan berlaku se-Indonesia, bukan hanya di Jakarta. Jika transportasi umum sudah baik, masyarakat bisa beralih ke transportasi umum, namun kenyataannya tidak demikian.

Selain itu, pemerintah juga perlu investasi di sektor-sektor strategis yang menciptakan lapangan kerja, seperti industri hijau, pangan, energi terbarukan, dan semikonduktor. Selain mengurangi pengangguran, langkah ini juga akan membuat Indonesia lebih kompetitif di kancah global.

Tahun 2025 seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah. Jika tidak ada langkah nyata, masyarakat akan terus terjebak dalam lingkaran kesulitan ekonomi. Pemerintah harus mulai berpihak pada rakyat, bukan sekadar angka-angka statistik yang terkadang klaimnya berbeda dari realita.

Melihat ke belakang, kondisi ini sebenarnya bukan hal baru. Kesenjangan ekonomi sudah menjadi momok lama. Pertumbuhan ekonomi, yang sering digadang-gadang sebagai prestasi, sering kali hanya menguntungkan segelintir orang.

Sementara itu, mayoritas masyarakat tetap berkutat di bawah garis tekanan ekonomi. Kebijakan seperti kenaikan PPN atau pengurangan subsidi BBM sering kali terlihat sebagai langkah pragmatis tanpa memperhitungkan dampaknya bagi mereka yang paling rentan.

Pemerintah perlu lebih peka terhadap kebutuhan masyarakat bawah. Hampir 60 persen pekerja di Indonesia berada di sektor informal. Artinya, pemerintah belum mampu memberikan akses pekerjaan formal kepada masyarakat. Hal ini yang perlu dicermati oleh pemerintahan saat ini.

Pemerintah juga harus memastikan bahwa harga bahan pokok tetap terjangkau. Pengendalian harga ini bisa dilakukan dengan memperkuat cadangan pangan nasional atau memberikan insentif bagi produsen lokal. Tunjukkan bahwa program food estate benar-benar berhasil dan bukan hanya sekadar omong kosong.

Di tengah bonus demografi yang dihadapi Indonesia, perlu ada reformasi di sektor pendidikan dan pelatihan kerja. Banyak tenaga kerja kita yang tidak siap menghadapi tantangan ekonomi modern. Investasi di bidang ini bukan hanya soal angka, tetapi juga tentang masa depan bangsa. Jika tenaga kerja kita bisa lebih kompeten, daya saing kita otomatis meningkat.

Namun, semua langkah ini tidak akan berjalan tanpa transparansi, akuntabilitas, dan kemauan yang kuat dari pemerintah. Pemerintah harus memastikan bahwa setiap kebijakan diambil berdasarkan data yang valid dan dapat dipercaya. Keterbukaan informasi bukan hanya soal hak masyarakat, tetapi juga kunci untuk membangun kepercayaan publik.

Tahun 2025 mungkin terlihat suram di depan mata, tetapi dengan kebijakan yang tepat dan keberpihakan yang jelas kepada rakyat, masa depan bisa saja berubah. Hal yang dibutuhkan sekarang adalah keberanian untuk menghadapi kenyataan, bukan sekadar bersembunyi di balik angka-angka statistik yang terlihat indah di permukaan. Sudah saatnya pemerintah menunjukkan bahwa mereka benar-benar bekerja untuk rakyat, bukan hanya untuk kepentingan sesaat.

Penulis adalah Peneliti Pangan, Desa dan UMKM Sigmaphi Research

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here