Matanurani, Jakarta – Lembaga pemeringkat internasional Standard & Poor’s (S&P) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan melambat menjadi 1,8 persen pada 2020 dampak pandemi virus corona (Covid-19), sebelum melambung kembali pada satu atau dua tahun ke depan.
Keputusan pemerintah mengeluarkan sejumlah kebijakan fiskal akan membantu mencegah tekanan ekonomi jangka panjang. “Untuk itu, tingkat pertumbuhan ekonomi jangka panjang Indonesia diperkirakan tetap di atas rata-rata negara peers,” kata keterangan tertulisnya di Jakarta, Minggu (19/4/2020).
Menurut S&P, keunggulan sisi kinerja ekonomi jangka panjang ini mengindikasikan dinamika ekonomi yang konstruktif di Indonesia.
Di sisi eksternal, S&P memandang bahwa nilai tukar rupiah yang sempat terdepresiasi cukup tajam telah berdampak negatif terhadap sektor eksternal dan meningkatkan biaya utang luar negeri sehingga dapat mempengaruhi kemampuan pemerintah dalam membayar kewajibannya.
Meski demikian, S&P meyakini Indonesia dapat mengelola risiko tersebut mengingat dalam beberapa tahun terakhir Indonesia mempunyai akses yang besar dan berkelanjutan ke pasar keuangan dan penanaman modal asing, bahkan ketika situasi pasar keuangan sedang bergejolak.
S&P juga memandang fleksibilitas nilai tukar rupiah akan memberikan manfaat bagi daya saing eksternal Indonesia selama beberapa tahun ke depan dan memperbesar ruang bank sentral dalam menjaga cadangan devisa.
S&P memperkirakan nilai tukar rupiah akan secara bertahap menguat seiring dengan kondisi pasar keuangan global yang berlanjut stabil hingga akhir 2020, kata Dekom BI.
Di sisi fiskal, kenaikan defisit fiskal akan memperbesar jumlah utang pemerintah dalam beberapa tahun ke depan. Namun, S&P memahami bahwa kenaikan defisit tersebut merupakan dampak dari langkah-langkah “extraordinary” yang diambil oleh pemerintah sebagai respons terhadap guncangan eksternal yang sangat tidak mudah diprediksi.
Dukungan fiskal yang kuat dibutuhkan untuk mengelola krisis kesehatan masyarakat akibat wabah terus meluas dan untuk memitigasi dampaknya, baik yang bersifat sementara maupun struktural, terhadap perekonomian Indonesia.
Secara khusus S&P menyoroti peran penting Bank Indonesia dalam mendukung upaya mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan meredakan guncangan ekonomi dan keuangan. Perppu, yang baru-baru ini ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo, memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk membeli surat berharga Pemerintah di pasar perdana apabila permintaan pasar dinilai tidak memadai.
Hal ini dapat membantu pemerintah dalam mengelola biaya pinjaman ketika pasar keuangan sedang mengalami gangguan ekstrem. Sejak krisis keuangan dunia 2008, banyak bank sentral di negara-negara maju juga diberikan kewenangan yang sama. Karena kewenangan ini hanya digunakan saat situasi pasar keuangan sedang tertekan maka dampaknya terhadap inflasi dan nilai tukar relatif terkendali.
Dalam kaitan ini, S&P mengakui bahwa dengan dukungan independensi yang dimilikinya, Bank Indonesia telah mampu mengelola inflasi pada tingkat yang selaras dengan negara-negara peers.
S&P juga mempertahankan Sovereign Credit Rating Republik Indonesia (RI) pada BBB (Investment Grade) dan merevisi outlook menjadi negatif pada 17 April 2020. Dalam laporannya S&P menyatakan bahwa peringkat Indonesia dipertahankan pada BBB karena tatanan kelembagaan yang stabil, prospek pertumbuhan ekonomi yang kuat, dan kebijakan fiskal yang secara historis cukup prudent.(Bes).