Matanurani, Jakarta – Tim Pilkada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) 2018 memperingatkan para pemangku kepentingan terkait pemilu untuk mewaspadai kemungkinan adanya pelanggaran yang berujung pada pelanggaran HAM pada Pilpres 2019 nanti.
Hal itu berdasarkan hasil evaluasi Pilkada Serentak 2018 yang dilakukan di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat dan Maluku.
Ketua Tim Pilkada Komnas HAM 2018 Hariansyah mengatakan, beberapa faktor penting yang mendorong pihaknya melakukan pemantauan langsung pelaksanaan pilkada adalah semakin maraknya penyebaran kebencian atau hate speech yang kerap berujung tindakan diskriminatif.
“Kemudian mencuatnya oligarki dalam proses pencalonan pilkada yang akan menciptakan kondisi negatif bagi pemajuan, perlindungan, penegakan pemenuhan HAM, peringatan tentang kerawanan. Serta masih terabaikannya kelompok-kelompok rentan dan minoritas dalam proses pilkada,” jelasnya dalam konferensi pers di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta, Senin (6/8).
Meski demikian, Hariansyah yang juga wakil ketua Komnas HAM mengapresiasi seluruh pemangku kepentingan yang bertanggung jawab dalam bidang keamanan terutama Polri dan pihak lain baik petugas TPS, pemerintah daerah yang turut menjaga iklim kondusifitas selama penyelenggaraan Pilkada 2018 sehingga tidak banyak terjadi kekerasan.
Anggota Tim Pilkada Komnas HAM 2018 Beka Ulung Hapsara menambahkan, pihaknya mendapatkan beberapa temuan dalam Pilkada 2018 lalu. Misalkan, adanya perbedaan standar layanan dan pembunuhan hak, terutama pada kelompok rentan, ras dan etnis.
“Jadi di lapangan, berdasarkan pantauan kami memang seperti ada perbedaan perlakuan. Misalnya perlakuan penyandang disabilitas dan para tahanan itu tidak dilayani dengan baik,” jelasnya.
Yang kedua, mengenai potensi diskriminasi ras dan etnis di media sosial dan internet. Hal itu juga harus menjadi catatan penting Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu bahkan kepolisian, karena bukan hanya soal pelanggaran pidana pemilu saja tetapi bisa berpotensi pada persekusi.
“Jadi, karena perbedaan pilihan terus dibumbui latar belakang agama dan etnis, dan akhirnya berpotensi nantinya ada presekusi di lapangan,” ujar Beka. (Rmo).