Matanurani, Jakarta – Pelaku usaha perkebunan terus berupaya melakukan modernisasi di dalam proses tata kelola, mulai dari hulu hingga hilir untuk seluruh komoditas di sektor tersebut.
Langkah tersebut harus dilaksanakan demi meningkatkan efisiensi dan efektivitas di tengah tidak menentunya industri perkebunan dalam beberapa waktu terakhir.
“Akhir-akhir ini kami mengalami kesulitan karena harga beberapa komoditas melemah. Kunci untuk bertahan adalah harus lebih efisien dan untuk itu kita harus mengandalkan teknologi,” ujar Direktur Keuangan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III Muhammad Yudayat di Jakarta, Kamis (4/4).
Salah satu modernisasi yang dikejar yakni dari sisi pemupukan. Direktur Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri PT Riset Perkebunan Negara (RPN) Priyono mengatakan pihaknya telah melaksanakan pengembangan penggunaan pupuk yang lebih efisien dengan memanfaatkan bioteknologi mikroba.
“Kalau kita mau menghasilkan produksi kelapa sawit 20 ton per hektare, setiap tanaman normalnya butuh 5 kilogram (kg) pupuk. Kita bisa kurangi penggunaan pupuk sampai separuh dengan tambahan 1,5 kg mikroba,” jelas Priyono.
Di samping itu, RPN juga mengembangkan pupuk dengan daya ikat yang lebih kuat. Secara normal, jika petani menuangkan pupuk sebanyak 5 kg per tanaman, sebanyak 70% dari jumlah tersebut akan terlepas sehingga hasil pertumbuhan dan produktivitas tidak maksimal.
Pihaknya kini telah menemukan formula pupuk yang memiliki daya ikat lebih kuat dengan potensi pelepasan hanya 40%.
“Harganya memang sedikit lebih mahal, tapi karena pakainya sedikit, dan produktivitas lebih besar, hitungan secara akumulasi jadi lebih murah,” terangnya.(Mei).