Home News Ketahanan Industri Perlu Dijaga Selama Pandemi Covid-19

Ketahanan Industri Perlu Dijaga Selama Pandemi Covid-19

0
SHARE

Matanurani, Jakarta – Mulai meredanya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok saat memasuki tahun 2020 sempat memunculkan optimisme akan kembali stabilnya perekonomian dunia. Namun, merebaknya pandemi Covid-19 kemudian memunculkan ancaman baru bagi ekonomi dunia dan juga Indonesia.

Ekonom Australian National University dan Anggota Dewan Pengawas Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Arianto Patunru menyampaikan, sektor industri tidak terlepas dari dampak pandemi Covid-19 karena adanya disrupsi pada sisi permintaan dan penawaran. Implementasi berbagai kebijakan yang umumnya berorientasi kepada pembatasan atau restriksi pergerakan manusia juga turut memengaruhi kinerja sektor ini.

Menurutnya, pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jakarta dengan pengecualian pada 11 jenis industri perlu dilakukan dengan cermat untuk memastikan keberlangsungan industri dan juga terpenuhinya kebutuhan masyarakat.

“Dari 11 jenis industri yang dikecualikan, tiga sektor saya kira memang sangat perlu ditangani hati-hati yaitu kesehatan, pangan, serta logistik karena ketiganya berperan sangat vital dalam jalannya perekonomian,” kata Arianto dalam acara diskusi yang digelar CIPS melalui webinar, Jumat (5/6).

Arianto mengatakan penanganan pada sektor dan industri pangan menjadi sangat penting karena makanan merupakan kebutuhan pokok atau primer. Sekalipun orang bisa bertahan tidak melakukan aktivitas perekonomian beberapa hari, ia tidak bisa untuk tidak makan.

Di saat yang bersamaan, harga pangan cenderung naik dengan volatilitas tinggi dan hal ini merugikan terutama bagi mereka yang miskin. Untuk itu, kestabilan harga dan ketersediaan komoditas pangan di pasar juga sangat penting untuk memastikan keterjangkauan masyarakat.

Arianto melanjutkan, industri manufaktur di semua negara hampir dapat dipastikan terkena hantaman pandemi Covid-19 ini. Di ASEAN, indutri manufaktur Singapura misalnya, yang terkena hantaman keras karena mereka bergantung kepada jasa jual beli dan pelabuhan yang semuanya terkena kebijakan pembatasan.

Dampak pandemi ini terhadap negara-negara ASEAN selain Singapura memang terlihat nyata, misalnya melalui purchasing managers’ index (PMI). Malaysia, misalnya, pada akhir April menunjukkan penurunan aktivitas kegiatan manufaktur sangat drastis seperti Indonesia.

Namun dalam survei Mei, ada indikasi bahwa para manajer mulai melakukan pemesanan bahan baku dan bahan pendukung lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor manufaktur mereka sedang bersiap-siap untuk berproduksi kembali. Hal yang sama ditunjukkan oleh indeks untuk Vietnam.

Menurut Arianto, beberapa hal selain Covid-19 tentu saja memengaruhi perilaku sektor manufaktur. Misalnya, keterlibatan dalam global value chain (GVC) memaksa beberapa perusahaan untuk memenuhi kewajiban mereka sesuai kontrak, walaupun dalam skala yang lebih kecil. Malaysia dan Vietnam sudah berpartisipasi lebih dalam GVC daripada Indonesia. Hal lain yang berpengaruh terutama dalam jangka panjang adalah kondisi struktural, seperti iklim investasi.

“Walaupun perang dagang sudah mereda, perekonomian global saat ini masih diwarnai ketegangan antara AS dan Tiongkok. Kita melihat adanya ‘de-China-isasi’ di mana banyak perusahaan multinasional memindahkan sentra usaha mereka dari Tiongkok ke negara lain. Indonesia sangat berpotensi memanfaatkan momentum ini, salah satunya melalui keterlibatan dalam GVC. Namun kita masih perlu melakukan berbagai pembenahan untuk mencapai tujuan tersebut,” kata Arinto.

Relokasi kegiatan usaha seperti ini sebenarnya berita baik bagi negara seperti Indonesia. Namun Indonesia harus bersaing dengan negara-negara seperti Vietnam. Karenanya, menurut Arianto, perlu sekali untuk tetap meneruskan reformasi di bidang industri, perdagangan, serta investasi. (Bes).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here