Home News Kesejahteraan Petani Perlu Jadi Tolok Ukur

Kesejahteraan Petani Perlu Jadi Tolok Ukur

0
SHARE
Ilustrasi Petani

Matanurani Jakarta — Kunci keberhasilan pembangunan sektor pertanian dinilai tak hanya sebatas pada orientasi stabilisasi harga, namun bertolok ukur pada kesejahteraan petani.

Oleh karena itu, berbagai program, subsidi, dan bantuan pemerintah mesti berorientasi kepada petani, bukan pada angka produksi atau stabilisasi harga semata.

Demikian salah satu rekomendasi rembuk nasional bidang pangan yang digelar di Jakarta International Expo di Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin (23/10).

”Tak mungkin kedaulatan pangan diraih jika petaninya tidak berdaulat atas benih, pupuk, dan kebutuhannya. Insentif pemerintah mestinya di hilir melalui jaminan harga yang menguntungkan petani, bukan di hulu melalui subsidi input, terlebih jika ternyata bukan petani yang menikmatinya,” kata Benny Pasaribu, anggota Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN).

Sejumlah petani menilai subsidi serta bantuan pupuk, benih, dan alat mesin pertanian belum efektif mendongkrak produksi maupun kesejahteraan petani.

Padahal, anggarannya Rp 40 triliun-Rp 45 triliun per tahun dalam tiga tahun terakhir. Hasil dari program Upaya Khusus Padi, Jagung, dan Kedelai serta penyerapan gabah juga dinilai belum sebanding dengan anggaran yang telah dikeluarkan pemerintah.

Peserta rembuk juga menyoroti tata kelola pangan, khususnya terkait kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP), harga eceran tertinggi (HET), dan Satuan Tugas (Satgas) Pangan.

HPP padi, misalnya, sampai saat ini masih Rp 3.700 per kilogram (kg) atau hanya naik 12 persen dibandingkan tahun 2012. Padahal, inflasi pada kurun waktu itu mencapai 28 persen.

Ketentuan HET beras juga dinilai merugikan petani karena seluruh risiko di rantai dagang akhirnya ditimpakan kepada petani sebagai produsen.

Sejumlah petani, kelompok tani, dan pengusaha penggilingan dari beberapa daerah menceritakan tekanan yang mereka alami terkait keberadaan Satgas Pangan dan tim penyerapan gabah.

Mereka mengaku tak leluasa menjual gabah dengan harga lebih tinggi karena dipaksa menjual beras ke Bulog dengan harga Rp 8.030 per kg. Padahal, harga di pasar mencapai Rp 9.820 per kg.

Hapus subsidi

Pemerintah juga diharapkan menghapus subsidi sejumlah input produksi, khususnya benih, pupuk, dan pestisida. Usul serupa menjadi salah satu poin rekomendasi dari rembuk tani dan rembuk daerah sebelumnya.

”Petani hanya butuh jaminan harga jual yang baik agar terus termotivasi menanam tanaman pangan. Bukan subsidi benih, pupuk, atau alat mesin pertanian yang di lapangan sering tak sesuai harapan, baik waktu maupun mutunya,” kata Masroni, petani asal Indramayu, Jawa Barat.

Setiarman, petani asal Sukoharjo, Jawa Tengah, mencontohkan, benih bantuan pemerintah kerap tidak jelas sumbernya. Tak jarang benih bantuan berasal dari gabah petani yang dibeli dan dikemas oleh perusahaan pemenang tender yang tak mampu memenuhi seluruh kuota kewajibannya.

Kondisi itu membuat daya tumbuh tak seragam dan produksi padi tidak optimal. Menurut Setiarman, tak sedikit petani yang sudah bisa memuliakan dan mengembangkan benih lokal secara mandiri. ”Fasilitasi saja petani-petani pintar untuk melatih petani lain memproduksi benih sendiri. Tak sedikit petani yang juga sudah bisa membuat pupuk organik dan pestisida nabati. Berdayakan saja mereka,” ujarnya.(Kps).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here