Matanurani, Jakarta – Lembaga pemeringkat Moodys’s Investor Services (Moody’s) mengafirmasi peringkat sovereign credit rating Indonesia pada level Baa2/outlook stabil (Investment Grade) pada 10 Februari 2020. Namun ternyata ada banyak catatan yang diberikan Moodys.
Dalam assessment Moody’s, Indonesia dikatakan akan menghadapi beberapa tantangan dalam metrik kreditnya. Pertama adalah rendahnya penerimaan negara yang dapat mempengaruhi profil kredit Indonesia.
Kedua adalah ketergantungan RI terhadap pendanaan eksternal. Dan terakhir adalah yang terakhir adalah struktur ekonomi Indonesia yang masih riskan terhadap siklus pada sektor komoditas.
Artinya walau pertumbuhan ekonominya kuat dan stabil, Indonesia masih menghadapi tantangan yang besar. Walaupun stabil, pertumbuhan ekonomi RI mentok di batas bawah angka 5%.
Untuk tahun 2020 Moody’s meramal pertumbuhan ekonomi pada 2020 ada kemungkinan berada di bawah 5%, mengingat perlambatan pertumbuhan ekonomi global masih dapat terjadi. Namun masih lebih baik dari negara lain dengan rating yang sama.
Di sini Moody’s kembali memberikan catatannya untuk Indonesia. Potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia terhambat oleh aturan dan isu ekonomi struktural lainnya seperti gap pada infrastruktur, sistem aturan atau regulasi yang membebani hingga pasar keuangan domestik yang dangkal.
Hal lain yang juga jadi faktor penghambat pertumbuhan ekonomi RI adalah kualitas tenaga kerja yang masih rendah dilihat dari tingkat pendidikan dan kesehatan dan adanya ketidakcocokan antara kemampuan yang dimiliki dengan yang dibutuhkan pasar.
Saat ini pemerintah memang sedang melakukan inisiatif untuk mereformasi hal ini seperti membangun infrastruktur untuk meningkatkan konektivitas dan deregulasi untuk menarik investasi.
Di periode yang kedua, pemerintah saat ini fokus pada pengembangan sumber daya manusia (SDM), melalui sektor pendidikan dan kesehatan.
Namun Moody’s memprediksi, inisiatif ini hanya akan menyelesaikan masalah struktural secara perlahan. Sementara pertumbuhan produktivitas masih akan rendah dan sensitivitas terhadap siklus komoditas masih tinggi.
Selain itu pemerintah juga terus berupaya untuk membuat iklim di Indonesia lebih ramah terhadap dunia bisnis dengan melakukan pemangkasan kebijakan dan prosedur serta pemberian insentif pajak.
Bahkan pemerintah kemungkinan mengalami dilema untuk meningkatkan pendapatan dan melakukan reformasi fiskal guna menarik minat investasi para investor.
Lagi-lagi Moody’s menyoroti hal ini dan Moody’s memperkirakan jika hal ini berhasil diimplementasikan, maka dampaknya baru akan terlihat secara bertahap. Namun jika reformasi ini gagal atau malah molor maka perekonomian RI akan kena risikonya.
Selain dua faktor di atas yang disorot oleh Moody’s, ada dua faktor lain yaitu faktor lingkungan dan pemerintahan. Moody’s menilai risiko bisa datang dari faktor lingkungan mengingat Indonesia merupakan negara yang rawan terkena bencana alam seperti banjir, kenaikan muka air laut, gempa bumi, tsunami dan letusan gunung berapi.
Ini tentu menjadi risiko untuk profil kredit Indonesia karena dampaknya bisa sangat meluas mulai dari turunnya produksi pertanian, kerusakan pada infrastruktur dan properti hingga masalah keamanan pangan.
Selain itu, walau dari segi pemerintahan Indonesia menunjukkan adanya perbaikan. Namun berdasarkan Worldwide Governance Indicators, penegakan hukum di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan standard global.
Ada dua kesimpulan yang diambil oleh Moody’s terkait faktor yang berpotensi menurunkan rating dan outlook surat utang RI.
Pertama, jika reformasi yang dicanangkan pemerintah saat ini tak berjalan atau bahkan mengalami kemunduran. Kedua adalah jika ada perubahan kondisi eksternal yang menyebabkan depresiasi nilai tukar serta adanya aliran dana keluar (capital outflow).(Cnb).