Home Wilayah Bukan Batak, Tapi Toba Kerajaan Sisingamangaraja XII

Bukan Batak, Tapi Toba Kerajaan Sisingamangaraja XII

0
SHARE

Matanurani, Medan – Ada anggapan yang selama ini sudah menjadi lumrah. Sisingamangaraja XII disebut sebagai “Si Raja Batak”. Tetapi, anggapan itu sebenarnya tidak selalu benar. Sebab, kerajaan Sisingamangaraja bukanlah Batak, melainkan Toba.

Argumen itu disampaikan penggiat dan peneliti budaya Batak, Thompson Hutasoit, dalam Forum Diskusi Terbatas (Forditas) Sisingamangaraja XII, awal pekan ini seperti dikutip dari tagar, Sabtu (3/8)

Pada Forditas yang digelar di Sanggar Sitopak Sada itu, Thompson menyampaikan interpretasi itu setelah menganalisis sejumlah bukumaupun manuskrip tentang riwayat Sisingamangaraja XII.

Thompson merujuk buku berjudul “Pemerintahan (Marajaon) dan Birokrasi Tradisional Masyarakat Toba” yang ditulis Dr Ulber Silalahi MA, untuk menegaskan argumennya.

Buku setebal 414 halaman yang dicetak pada 2014 itu, jelas Thompson, menegaskan bahwa sistem bius (konfederasi kampung) sudah ada sebelum dinasti Sisingamangaraja.

Ketika menyebut Sisingamangaraja XII adalah raja, sebenarnya kerajaan yang dimaksud bukan Batak, melainkan Toba

Dinasti itu menjadi supra-bius dan hierarki yang memungkinkan untuk mengawali kecenderungan bernegara secara komunal atau federal.

“Secara intrinsik buku ingin menarik kesinambungan dari Kerajaan di Balige Raja melalui Sorimangaraja dan anaknya Sorbadibanua. Namun, sekaligus memerlukan kelengkapan soal bagaimana sesungguhnya situasi konflik kala itu, sebelum kemudian muncul model kerajaan baru melalui Sisingamangaraja,” jelas Thompson.

“Ketika menyebut Sisingamangaraja XII adalah raja, sebenarnya kerajaan yang dimaksud bukan Batak, melainkan Toba. Ini juga merujuk pada pernyataan beliau, Ahu Sisingamangaraja Na Mian Sian Bakkara. Jadi yang dimaksud di situ ialah Toba,” katanya.

Sejarah mencatat, bahwa Bakkara atau sering juga ditulis Bakara merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Toba di bawah kepemimpinan dinasti Sisingamangaraja, sejak abad ke-16 hingga hingga gugurnya Sisingamangaraja XII pada tahun 1907

Penggiat opera Batak itu juga merujuk buku “Toba Na Sae” yang ditulis sastrawan Sitor Situmorang. Buku dicetak oleh Komunitas Bambu pada tahun 2009 dan sebelumnya sudah dicetak pada tahun 2004.

“Buku ‘Toba Na Sae’ menggambarkan situasi sosial-politikmelalui sistem pemerintahan tradisional bius hingga kemunculan dan peran Sisingamangaraja kemudian,” jelasnya.

Sebelumnya, Adniel Tobing juga pernah memaparkan dinasti Sisingamangaraja dalam bukunya berjudul “Sisingamangaraja I – XII”. Buku itu dicetak tanpa penerbit pada tahun 1967. Dicetak dan diperbanyak dengan fotokopi dan sudah mengalami revisi hingga tujuh kali.

“Terbitan awal buku ini mungkin juga sebagai panduan historis tentang sejarah dinasti Sisingamangaraja untuk publik ketika pemindahan tulang-belulang ke Soposurung, Balige,” jelasnya.

Melalui buku itu, Adniel mencoba menggambarkan Sisingamangaraja secara turun temurun dari yang pertama sampai keduabelas. Perhatian utamanya adalah Sisingamangaraja yang dipaparkan dalam 25 halaman, Sisingamangaraja X sepanjang 18 halaman dan Sisingamangaraja XII sepanjang 54 halaman.

“Kelihatannnya buku ini sebagai bentuk penghormatan dan memorial dengan mengumpulkan sejumlah informasi dari sumber-sumber terdekat. Kalau tidak salah, Adniel Tobing merupakan suami Sunting Mariam, salah satu putri sulung Sisingamangaraja XII dari istrinya boru Sagala,” jelas Thompson.

Forditas didukung oleh Balai Arkeologi Sumatera Utara. Pada pelaksanaannya yang ke tujuh, topiknya sampai pada riwayat Sisingamangaraja yang ditulis dalam berbagai referensi oleh penulis yang berbeda.

Pada kesempatan itu, Oktavianus Matondang, juga memperkenalkan Sanggar Sitopak Sada. Sanggar yang berlokasi di Jalan Citra Anggrek No. 34 Simpang Selayang, Medan itu, akan mencoba konsern dan menggali sejarah kebudayaan Batak. (Tag).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here