Home News Ini pentingnya Kebijakan Satu Peta Jokowi Dalam Mengelola Lahan Gambut

Ini pentingnya Kebijakan Satu Peta Jokowi Dalam Mengelola Lahan Gambut

0
SHARE

Matanurani, Jakarta – Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta Pada Tingkat Ketelitian Peta Skala 1:50.000. Percepatan Pelaksanaan KSP ini bertujuan untuk terpenuhinya satu peta yang mengacu pada satu referensi geospasial, satu standar, satu basis data, dan satu geoportal guna percepatan pelaksanaan pembangunan nasional.

Dalam aturan ini, pemerintah menargetkan penyelesaian peta-peta tematik bertahap sesuai rencana aksi percepatan kebijakansatu peta sampai 2019. Kebijakan satu peta bertujuan antara lain, memudahkan penyelesaian konflik, sampai tumpang tindih pemanfaatan lahan.

Deputi Bidang Informasi Geospasial Tematik Badan Informasi Geospasial (BIG), Nurwadjedi mengatakan, pihaknya saat ini sudah menyelesaikan integrasi 63 peta di Kalimantan. Target kerja BIG hingga akhir 2017 menurutnya adalah integrasi data 82 peta di Pulau Sumatera, 81 Peta di Pulau Sulawesi, dan 79 peta tematik di Pulau Bali dan Nusa Tenggara.

Kalau sekarang masih 1:50.000, ke depan kita juga sudah merancang peta skala 1:5000, ungkap Nurwadjedi di Jakarta, Senin (30/10).

Kebijakan Satu Peta (KSP) ini juga sangat diperlukan untuk melakukan restorasi dan konservasi lahan gambut. KSP dengan akurasi tinggi menjadi acuan bersama para pemangku kepentingan yang terlibat.

Salah satu instrumen penting dalam mendukung pengelolaan gambut adalah tersedianya peta gambut yang akurat, ucap Pembina Yayasan Dr. Sjahrir, Kartini Sjahrir.

Menurutnya, Indonesia memiliki lahan gambut tropis yang luas. Lahan gambut tersebut dapat menyusut atau bahkan hilang. Karena itu, pemantauan lahan gambut secara periodik sangat diperlukan. Penyebab umum penyusutan lahan gambut di Indonesia menurutnya adalah pemanfaatan lahan gambut yang dikelola secara intensif tanpa mempertimbangan kaidah konservasi tanah dan air. Padahal pengelolaan lahan gambut yang tepat merupakan salah satu upaya dalam memenuhi target penurunan emisi karbon.

Mengenai peta gambut di Indonesia, menurut catatan Kazuyo Hirose dari Japan Space System, sejak tahun 1970-an sampai2011, Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum, sejumlah lembaga dan perguruan tinggi telah membuat petagambut skala lokal dan national. Namun laporan hasilnya menunjukkan perbedaan, dengan rentang selisih antara 13,5-26,5 juta hektar.

Namun, menurut World Resources Institut (WRI) Indonesia, semua peta gambut yang tersedia di Indonesia masih dalam skala kecil, sehingga belum bisa menjawabpermasalahan pengelolaan gambut dan restorasi ditingkat tapak.

Menurut Deputi I bidang Perencanaan dan Kerjasama Badan Restorasi Gambut (BRG), Budi Satyawan Wardjama, BRG dibentuk pemerintah tahun 2016 dalam rangka percepatan pemulihan kawasan dan pengembalian fungsi hidrologis gambut akibat kebakaran hutan. Awalnya bekerja menggunakan data peta yang ada yang belum terupdate dan kurang memadai.

“Ada14 peta dan semua beda-beda, untungnya ada wali data peta tanah dan peta lahan gambut Balitbangtang Kementan. Tapi sayangnya data terakhir tahun 2011 dan belum ter update,” ungkap Budi Satyawan.

Untuk memetakan luasan dan ketebalan gambut, selama ini para ilmuwan menggunakan penginderaan jarak jauh, radar, dan pengukuran lapangan. Namun, belum ada metode yang disepakati bersama untuk mengukur ketebalan gambut. Tidak adanya kesepakatan ini telah menghambat upaya untuk membuat peta yang paling bagus, tepat waktu, dan kredibel yang dapat melacak perubahan luasan dan ketebalan gambut, serta emisi karbon terkait.(Mer).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here